...PELANGI DALAM SAKURA...
*18th Chapter
Sebuah akhir... yang tidak pernah berakhir!
***Part I***
Ve duduk disebelah Shania, menatapnya dalam tatapan penuh kesedihan.
Apa yang harus dia ucapkan saat nanti Shania bangun? Apa yang harus dia lakukan saat nanti Shania bangun dan bertanya tentang gelapnya ruangan tempat dia sekarang dirawat?
Hal sulit itu masih belum enyah dalam hidup mereka berdua. Sekalipun Shania bisa bertahan dalam kecelakaan yang melibatkan Mamanya, tapi kesulitan lain yang tidak kalah sulitnya, menghadang, memotong jalan yang sedang dilalui. Menguji kepercayaan, ketabahan, dan kesabaran keduanya.
Ve, merasakan tangannya bergerak, karena ternyata tangan Shania yang sedang dia genggam melakukan gerakan.
"Dek..?" Panggilnya, memastikan.
Saat matanya mulai terbuka, Shania merasakan itu lagi... gelap, ada suara, dan dia tahu siapa pemilik suara itu. tapi dia tidak bisa melihat Kakaknya, hanya ruang yang begitu legam gelap yang dia lihat! sebelahmana suara itu.. Shania coba mencari.
"Kaak Ve..?"
"Kakak disini, Dek!"
"Kenapa... kenapa disini gelap, Kak?"
Ve menahan tangisnya, dia seketika diam, tidak tahu harus menjawab apa.
"Shania.. Shania gak bisa lihat Kakak! Kenapa gelap Kak? Apa... Kakak juga merasakan yang sama!?" Tanyanya kembali, mengira mati lampu!
"Selamat siang!"
Dokter dan Suster masuk kedalam ruang rawat Shania.
"Suara siapa itu?.. Siapa yang datang, Kak?"
Ve menyeka air matanya, menekan suara tangisnya. "...itu.. itu Dokter, dek!" lalu menjawab tanya Shania.
Meski kondisi Shania belum pulih benar, tapi dia tetap bisa mempekerjakan otaknya. Shania jadi berpikir, kalau diruangan itu mati lampu, kenapa Kakaknya bisa tahu kalau suara yang keluar tadi itu milik dokter?!
"Dokter..? Kakakk.. bisa lihat? Jadi? Disini.. disini gak lagi mati lampu Kak?! Terus Shania.., kenapa Shania gak bisa lihat apapun! Kenapa semuanya gelap Kak?"
Shania mulai takut, dia meyakini, ada yang salah dengan penglihatannya, dengan kedua matanya. Tapi, Shania mencoba memungkirinya.
Ve tercengang, ucapan yang awalnya tidak tahu harus dia rangkai seperti apa untuk memberi tahu Shania, ternyata malah sebuah ucapan tidak lebih dari 8 kata yang menjadi pembuka.
"Kakk..? Shania kenapa? Kenapa disini... (Shania merabakan tangan pada kedua matanya, dan menguceknya perlahan), Shania lagi buka mata! Tapi kenapa? Ada apa sama Shania Kak? Kenapa Shania gak bisa melihat?"
Shania yang belum begitu stabil, meluapkan rasa takut dalam kegelapannya.
"Maafin Kakak.. Shania..."
Ve memegang tangan Shania dengan tangis mengiring. Shania bisa merasakan tangis kesakitan dari Kakaknya.
"Kenapa Kak?... Dokter? Ada apa sama mata aku? Kenapa semuanya gelap!?"
Shania memainkan matanya untuk menjangkau Dokter dan menanyakan keadannya secara rinci.
"Kenapa.. gak ada yang jawab! Ada apa sama penglihatan aku!?"
Shania semakin menjadi, dia merabakan kedua tangannya, dan kini diikuti gerakan dari tubuhnya, hingga dia nyaris jatuh. Tapi untungnya, Ve begitu sigap. Shania mencoba berontak dalam tanya ketakutannya, di dekapan Ve.
"Kamu.. Kamu akan baik-baik aja, Dek! Semua akan baik-baik aja!!" Ve mencoba menenangkan.
"Apanya yang baik, Kak? Semuanya gelap! Kenapa dengan mata Shania!?" Jawabnya dalam tangis dan pemberontakan, pada Kakaknya.
Dokter yang didampingi seorang suster, sesegera mungkin mendekat kebangsal Shania. Dan dengan cepat dia menyuruh suster untuk menyuntikan pembius ringan pada Shania, karena dia terus bergerak melakukan pemberontakan. Dokter mengambil tindakan itu untuk mencegah rasa sakit di tubuh bagian lain Shania timbul, dan mengakibatkan kondisi Shania yang baru setengah stabil kembali drop.
Setelah pemeriksaan yang Dokter lakukan pada Shania selesai, Ve duduk sebentar didekat adiknya yang sedang tidur. Beberapa menit lamanya, dia memutuskan untuk berjalan keluar ruangan.
Duduk sendiri didepan ruang rawat Shania. Pikirannya dipenuhi tentang bagaimana cara agar dia dapat donor retina mata secepat mungkin, tanpa harus mengantrikan Shania di daftar penerima donor, pada bank mata.
'Ah! Darimana?, Siapa yang akan dengan sukarela memberikan retina matanya untuk orang lain?'
Ve begitu resah dan gelisah,
'Jangankan yang masih memiliki kehidupan! Yang sudah meninggalpun... sangat sedikit yang dengan sukarela memberikan retina matanya!!'
Dia menyandarkan kepalanya ke dinding. Menerawang langit-langit.
Sementara itu, Papa dan Mama tidak tinggal diam. Merekapun mengerahkan kemampuannya untuk mencarikan donor mata, bagi Shania. Memasang iklan, mengimingi siapapun yang mau mendonorkan matanya dengan rupiah yang berjumlah fantastis, tanpa mereka mau sadari kalau perbuatannya itu bukanlah perbuatan baik.
Dan lagi, Mama yang ingin dan rela, mendonorkan matanya sendiri demi menebus rasa bersalahnya pada Shania, ternya.. tidak Tuhan kehendaki. Mama tidak bisa mendonorkan mata karena matanya yang minus. Mungkin, ini hukuman yang Tuhan berikan atas semua kehilafan Mama yang sempat menelentarkan kedua putrinya, meninggalkan keluarganya dengan pergi bersama pria lain. Niat baik yang keluar dari lubuk hatinya sekalipun, mendapat tentangan dari Tuhan. Atau mungkin..., ada hal lain yang akan Tuhan tunjukan, sesuatu yang lebih indah, bahkan lebih indah dari apa yang mereka bayangkan. Bukan hanya sebuah hukuman dari keteledoran, namun suatu akhir yang akan melahirkan banyak makna, untuk dijadikan pelajaran.
Tuhan selalu punya alasan atas semua rencana yang Dia buat!
"Kak Ve?"
Ve masih dialam lamunannya, saat Beby memanggilnya.; Melody menatap Ve.
"...Kak!"
Kembali Beby memanggil dengan kali ini diikuti sentuhan ditangan Ve.
Ve yang akhirnya menyadari seseorang sedang memanggilnya, segera menatapkan matanya.
"...Beeby!"
Suaranya terdengar tidak percaya, menyebutkan nama Beby.
Beby mengulaskan senyumnya pada Ve,
"Kakak kenapa?" Tanya Beby cemas.
Ve menyeka air matanya, "Kamu... Kenapa kamu bisa disini?" Tanyanya kemudian, tidak menghiraukan kecemasan Beby.
"Beby mau ketemu Shania, Kak!" Jawab Beby.
"Tapi kamu kan?.., Bagaimana Operasinya? Udah?" Ve melencengkan ucapannya, jadi pertanyaan untuk Beby.
Beby diam belum menjawab. Ve melihat Melody, dan Melody yang sadar akan tatapan tanya Ve, segera menggelengkan kepalanya pelan, berisyarat kalau belum ada Operasi.
Ve kembali melihat Beby. Belum sempat Ve bicara, Beby memotong dengan mengeluarkan suaranya.
"Beby... Beby minta maaf Kak! Beby bukan sahabat yang baik buat Shania!" Beby menundukan kepalanya.
"Apa maksud kamu, Dek?" Ve mengerungkan keningnya.
"Beby... gak tahu kalau Shania... dia mengalami kecelakaan, dan...," Suara Beby terhenti karena dia tidak bisa menahan tangisnya.
Melody yang berada dibelakang kursi roda Beby, mengelus pundak adik sepupunya yang tadi memaksa dirinya untuk mengantarkan dia pada Shania. "Beby minta maaf... Beby gak bisa ngelakuin apapun, Kak! Beby..,-"
Ve yang bisa merasakan kesedihan Beby, segera turun dari bangku yang tadi ia duduki dan berjongkok didepan Beby.
"Sssutt... Jangan bicara apapun lagi! Kamu gak seharusnya bicara seperti itu!" Ve mengusap air mata Beby. "Shania... dia udah siuman kok. Dia udah baik-baik aja, meski...," Ve menahan ucapannya.
Beby dan Melody melihat kearahnya, yang tidak melanjutkan kata-kata namun malah melamun. (Ve belum memberitahu soal perkembangan Shania.)
"Meski apa Ve...?" Melody yang mempertanyakan. Ve menatap Melody, kemudian kembali ke Beby.
"Shania... dia mengalami kebutaan, Kak!"
Kedua tamu yang juga sudah Ve anggap keluarga itu melebarkan kedua matanya. Kaget dengan informasi yang baru saja masuk dalam telinganya.
"Aaapa? Shania... dia... dia gak bisa lihat Kak?" reaksi Beby yang masih dalam sisa tangis, bercampur dengan kekagetan. Ve mengangguk lemah.
"Bagaimana bisa?..." Beby terdengar menyesal dan sedih kala mendengar apa yang Ve ucapkan. Karena semalam, dalam tidurnya setelah sore hari dia pingsan, dia melihat Shania yang ketakutan dan menyinggung soal kegelapan. Inginnya dia mendekap dan memberikan sedikit kekuatannya pada Shania, tapi semua sia-sia, karena meskipun dia ada di dekat Shania, dia tidak bisa melakukan apapun, tubuhnya ditarik.. menjauh dari Shania yang sedang duduk sendirian.
"Separah apa, Kak? Shania bisa melihat lagi kan?" Tanya Beby dalam wajah sedihnya.
Ve berdiri, menghela nafas begitu dalam.
"Kalau saja, hanya dengan Operasi biasa Shania bisa kembali melihat, Kakak gak akan menunda pelaksanaan Operasi itu. Tapi ini,... Shania... dia tidak bisa sembuh hanya dengan Operasi biasa! Dia harus... mendapatkan donor mata, agar bisa kembali melihat!! Operasi pencangkokan retina mata, yang akan membuatnya kembali bisa melihat. Hanya itu jalannya..." Jelasnya dalam kepedihan teramat sangat.
Beby kembali menjatuhkan air matanya. Mendengar apa yang Ve uraikan, membuat dia begitu mengutuk diri sendiri, karena sempat mengira Shania sedang marah padanya saat dia tidak ada datang menjenguk.
"...Bukan Operasi pencangkokan matanya yang Kak Ve khawatirkan, tapi... Pendonor matanya!"
"Maksud Kakak..?"
"Dokter bilang, Kondisi kebutaan Shania.. tidak bisa membuat matanya menunggu terlalu lama. Kalau dalam waktu 1bulan dia belum juga mendapatkan donor mata, maka... dia akan hidup dalam kebutaan itu untuk selamanya!"
Apa yang Ve jelaskan adalah pukulan telak yang menghantam dada Beby dan juga Melody.
Tidak Beby rasakan, ada darah segar keluar dari hidungnya. Bahkan denyutan dikepalanyapun dia abaikan, karena rasa sakit mendengar kondisi Shania lebih mendominasi sensorik tubuhnya, hingga dia tidak merasakan hal apapun. Selain bayangan dari sakitnya Shania.
"Darah? Hidung kamu berdarah, Dek!"
Ve melihat diwajah pucat yang tirus itu mengeluarkan cairan berwarna merah. Dia segera berjongkok kembali menghadap Beby.; Beby meraba hidungnya; Melody mengeluarkan saputangan dan ikut berjongkok didepan Beby, dia menutupkan saputangan itu.
"Kita harus kembali ke rumah sakit, Beby!" Cemas Melody.
"Kak Melody benar! Wajah kamu juga sangat pucat, Dek!" Ve jadi ikutan mencemaskan Beby.
"..Beby gak apa-apa..." Suaranya terdengar lemah, tidak seperti tadi. "Beby mau lihat... Shania... Beby mau... jenguk dia Kak!"
"Tapi kamu,-"
"Beby mohon!"
Ve tidak bisa menolak, keinginan Beby.
"Ya udah, kalau kamu mau lihat Shania! Tapi setelah itu, kamu langsung kembali ke rumah sakit ya, biar Dokter bisa memeriksa kamu!"
Dengan seutas senyum lemah, Beby menganggukan kepalanya, menyetujui syarat yang diajukan Ve.
Masuk kedalam ruangan itu dan melihat Shania yang terbaring lemah diatas bangsalnya, membuat Beby tidak bisa mengendalikan air matanya sendiri. Apa yang tadi Ve ucapkan, semuanya berputar dalam otaknya yang sedang sakit. Beby sudah berada disamping Shania. Dia merasa tidak bisa membuka mulutnya sendiri, hanya memandang wajah yang di pipi sebelah kirinya masih ada bekas lebam berwarna ungu kehijauan. Mengangkat tangan Shania dan memegangnya, hatinya menangis hingga air matanya kembali untuk kesekian kalinya meleleh membasahi lagi wajah pucatnya.
"...Shhaniaa..."
Mengeluarkan satu kata saja begitu terasa berat untuk Beby.
"Maafin aku... kamu... denger aku? Maaf.. karena aku gak berguna, aku cuma jadi beban buat kamu! Aku bukan sahabat yang baik buat kamu!! Maafin aku.. Shania..." Dengan keterbataan dalam tangisnya, Beby mengutarakan ucapannya.
Denyutannya semakin menjadi, hingga pada akhirnya Beby bisa merasakan. Dan tanpa Beby sadari, dia melepaskan genggamannya dari Shania lalu... dia tidak sadarkan diri. Terkulai tanpa daya dengan darah segar lagi-lagi keluar dari hidungnya. Membuat Melody dan Ve panik.
Duniaku hitam, tidak ada lagi pelangi yang bisa aku lihat. Aku membuka mataku, tapi.. tidak ada warna yang bisa kulihat. Hanya warna hitam, sebuah kegelapan yang tidak berujung, tak ada tepi tak ada awal, semua hitam, pekat... tanpa ada cahaya secelah pun.
Shania masih terbaring tanpa ada daya, tubuhnya yang berangsur pulih dari setiap benturan yang diakibatkan kecelakaan, tidak dia ikuti dengan pemulihan hatinya. Hati yang sedang merasakan kesedihan teramat sangat, atas apa yang sedang Tuhan titipkan dalam kehidupannya kini. Sebuah kegelapan yang merenggut tatanan warna yang biasa dia lihat, dikala dia membuka matanya.
Sudah 4hari, semenjak kesadarannya mulai bisa dia raih kembali, dan... berita kegelapan yang memasuki dunianya kini. Membuat Shania seolah enggan untuk bisa merasakan atmosfir bumi. Bahkan, untuknya bernafaspun, rasanya ingin dia tinggalkan. Keberadan Ve di sampingnya, tidak lantas membuat dia merasakan aman, nyaman, tenang, karena Shania tetap saja diam dalam kegelisahan dan ketakutannya. Apalagi keberadaan Papa sama Mama, sama sekali tidak membawa efek apapun! Dia hanya diam, untuknya... entah itu siang ataupun malam. Membuka mata ataupun memejamkannya. Sekarang tidak akan ada bedanya. Semua... sama, sama gelapnya!
Dan, Ve yang selalu diacuhkan dalam 4hari ini, tidak pernah menyerah untuk menyentuh Shania agar mau kembali berbicara, menumpahkan segala ketakutannya, berbagi rasa sakitnya. Selain itu, Ve bersama Mama, Papa, juga tidak pernah berhenti berusaha mencarikan donor mata, agar Shania bisa kembali melihat. Karena waktu terus berjalan, dan Shania... bisa saja kehilangan warna dalam hidupnya untuk selama-lamanya.
"Selamat pagi, Adeknya Kak Ve! mmm.. tadi Suster udah bawain makan loh. Kamu makan dulu ya?" Kata Ve berbasa-basi yang biasanya selalu berujung basi, karena Shania tidak pernah mau menanggapi.
Shania hanya diam, selalu diam. Terlihat, matanya seperti melihat Ve, tapi sebenarnya tidak. Karena memang selalu terlihat seperti itu. Melihat namun entah arah mana yang dia lihat, karena dalam kegelapannya kini, tidak ada arah pasti yang bisa dia lihat.
"Ayo, buka mulut kamu... Kakak suapin, supnya terlihat enak loh Dek? Makan ya?" Tawarnya, melihat wajah Shania dengan kesedihannya.
Shania tidak juga menggubris.
"Kalau kamu.. gak mau makan, Kakak akan temenin kamu. Kakak juga gak akan makan!"
Hati kecil Shania terusik dengan ancaman halus Ve.
Ve menghela nafasnya, "Bahkan kalau bisa, Kakak nemenin kamu dalam kegelapan itu. Kakak akan lakukan! Atau... Kakak switch posisi Kakak sama kamu. Kakak akan lakukan itu!!"
Ve yang sudah merasa lelah dengan kediaman Shania, sudah tidak tahan lagi dengan apa yang adiknya itu lakukan. Karena dia merasa jadi Kakak yang tidak ada gunanya, tidak bisa melakukan apapun untuk Shania.
"Kakak masih bisa melihat, tapi.. apa yang Kakak lihat saat ini, membuat Kak Ve berpikir... tidakkah, dalam kegelapan kehidupan Kakak akan jauh lebih baik!?" Ve menitikan air matanya. "Tidaklah perlu.. Kakak ada dalam posisi mengetahui siapa yang sudah melukai kamu! Tidaklah perlu.. Kakak melihat kemuraman diwajah kamu! Tidaklah perlu... Kakak melihat penderitaan kamu... tapi Kakak tidak bisa melakukan apapun! Kakak bisa melihat.. Tapi Kakak tidak bisa melakukan apapun!!" Ve menundukan wajahnya.
Usikan itu, perlahan mulai menyentuh hati Shania.
"Apa yang harus Kakak lakuin, Dek? Beritahu Kakak? Perlihatkan sama Kakak, bagaimana cara... agar Kakak bisa..., bisa melihat lagi senyum kamu!?.. Bicaralahhh... Kakak mohon! Kakak gak bisa lagi lihat kamu seperti ini, terus-menerus!!" Lirih Ve, menggenggamkan tangannya ke tangan Shania.
Tanpa Shania sadari sudut matanya meneteskan bulir air, ketika mendengarkan rasa sakit Ve tentang dirinya.
"...Kalau saja, retina mata yang Kakak miliki memenuhi persyaratan seperti Dokter bilang. Kakak tidak akan berpikir apapun, Kakak akan langsung memberikan retina mata Kakak sama kamu!"
Sentuhan dari setiap ucapan itu semakin membuat pudar dinding gelap dihati Shania.
"Kamu merasa.. sendirian diujung kegelapan, dan Kakak... sama, sendirian. Kakak ada dalam ribuan lorong warna, tapi? seperti tidak melihat satupun warna ceria disetiap lorong itu. Seakan semua hanya warna berkabung, warna yang berwarna, namun fana!"
". . . . . . . . . ."
"...Kakak memang, gak pernah bisa ngelakuin apapun buat kamu! Bahkan untuk sekedar menjaga kamu, agar kamu tidak terluka.. Kakak tidak pernah bisa melakukannya. Harus selalu kamu, yang bisa jagain Kakak. Tapi giliran kamu yang butuh penjagaan, Kakak malah tidak bisa melakukan apapun! Maafin Kak Ve, Dek...!!!"
Shania merasakan tetesan air membasahi tangannya, dan itu adalah air mata Ve.
Ve mencoba terus menembus kegelapan dalam hati Shania lewat permainan kata-katanya. Mungkin ini puncak dari perasaan seseorang yang merasa tidak bisa melakukan apapun untuk bisa menggapai kembali orang yang dia sayangi, hingga Ve terlihat dan terdengar begitu aktif mengungkapkan apa yang beberapa hari ini dia rasa, dalam ketidak berdayaannya melihat Shania.
Karena tetap tidak ada respon berarti dari Shania yang diam membisu. Ve memutuskan untuk melepaskan genggamannya dari Shania, dia menyeka air matanya, menghirup udara begitu dalam, agar banyak udara yang masuk memenuhi rongga parunya yang sedang terasa sesak. Perlahan, Ve mendorong kursi yang dia duduki, memutuskan untuk meninggalkan Shania sendirian, dan dia akan keluar sebentar, menenangkan pikirannya.
Shania bisa merasakan genggaman itu mengendur lalu terlepas, ditambah adanya suara decitan kaki kursi. Shania menebak kalau Ve akan meninggalkannya. Shania malah jadi merasa ketakutan akan ditinggalkan. Dia tidak mau kalau Kakaknya itu pergi dari sampingnya, meninggalkan dirinya sendirian.
Dengan gerakan dari bibirnya yang tipis, Shania segera mengunci pergerakan Ve. Setelah 4hari lamanya suara itu tidak pernah terdengar.
"Jangan tinggalin Shania sendirian!"
Ve seketika melihat Shania.
"Shania takut... Shania takut dalam kegelapan ini, Kak!" Shania mencoba mencari tangan Ve untuk dia raih.
Ve yang mendengar kerapuhan Shania segera kembali duduk di sebelahnya, dan menggenggamkan lagi tangannya.
"Enggak! Kakak gak akan pernah ninggalin kamu. Seperti janji Kakak yang tidak akan pernah melepaskan pelukan Kakak sama Kamu!!"
Ve terharu mendengar suara yang belum dia dengar lagi setelah kecelakaan yang tiba-tiba itu membuat Shania lemah. Membuat dia membisu dalam kegelapan. Tanpa mau membagi keresahan dan kegelisahan yang memburunya dalam ketakutan.
"Shania takut Kak!..."
Shania menangis tersedu dalam ketakutan di kegelapan yang selama ini dia pendam sendiri.
"Apa Shania bisa melihat lagi? Shania takut kalau harus berjalan dalam kegelapan yang Shania lihat!.." Shania terisak, begitu pedih.
"Kamu pasti bisa kembali melihat. Kakak tidak akan pernah biarin kamu berjalan sendirian dalam kegelapan.!"
Ve memeluk Shania, mendekapnya erat, hingga Shania bisa mengeluarkan ketakutannya lewat tangis yang menjadi.
"Maafin Shania, Kak! Shania terlalu takut. Shania gak pernah menganggap, kalau Kak Ve gak pernah bisa jagain Shania. Shania.. sayang sama Kakak!" Lantunnya dalam pelukan hangat Ve.
"...Kakak juga sayang sama kamu! Kakak janji... akan melakukan apapun agar kamu bisa melihat lagi!!" Janji Ve, yang dia sendiripun ragu akan bisa menepati. Karena waktu yang terus berputar tanpa bisa ditawar, bahkan untuk di pause barang sedetik saja.
Sepersekian menit, pelukan pelepas rasa sakit itu Shania bagi dengan Kakak sulungnya. Hingga dia yang merasa tubuhnya masih lemah, tertidur dalam pelukan Ve. Dalam beberapa malam ini, Shania tidak benar-benar menenggelamkan ruhnya ke alam mimpi, dia memejamkan mata hanya untuk sekedar penenang hati, dari gelap warna yang terlihat dikala matanya terbuka.
Ada dalam posisi sakit itu.. memang sangat tidak mengenakan! Tapi, ada dalam posisi tidak sakitpun akan sama tidak mengenakannya dengan berada diposisi sakit. Tahu kenapa? Kalau kita begitu dekat dengan orang yang kita kasihi, kita sayangi. Terus mereka sakit, membutuhkan pertolongan, namun kita tidak sama sekali bisa menolong. Maka rasanya akan sama sakitnya dengan orang yang sedang menderita dalam sakit itu.
Tidak ada yang tahu, kapan sakit akan mampir dalam kehidupan yang sedang dijalani. Syukuri kesehatan yang sudah Tuhan berikan, sebelum sakit.. datang menindih sehat, hingga membuat tubuh merapuh dalam lemah. Sekalipun tidak bisa memberikan pertolongan, setidaknya kita selalu ada di dekat mereka, menunjukan kalau kita... siap untuk mereka kapanpun mereka butuhkan, dan kita tidak akan pernah meninggalkan mereka sendiri dalam sakitnya.
"Kamu mau kemana, sayang?"
Mama terlihat heran dalam ucapannya, kala melihat Beby yang sedang bersiap, dia sudah turun dari ranjangnya, dan sudah memakai pakaian biasa.
"Mama! emm.. Beby mau jenguk Shania Mah!" Jawab Beby.
"Bebyy? Kondisi kamu itu lemah! Kamu gak mungkin bisa nemuin Shania, sayang.."
Cemas Mama, mendekat pada putri tunggalnya.
"Mah! Tanpa Beby bergerak dari ranjang ini, dan pergi menemui Shania pun. Kondisi Beby akan tetap lemah, bahkan terus.. dan semakin melemah! Mama pasti tahu itu, kan?" Beby melakukan pembelaan.
"Iya, karena Mama tahu pasti. Itu kenapa Mama tidak memberikan kamu izin untuk keluar dari ruangan ini!" balas Mama, membuat Beby mengerung,
"Mama tidak mau.. kamu kembali pingsan dan untuk... entah untuk keberapa kalinya, kamu bikin Mama dalam ketakutan yang hebat!"
Beby bisa mengerti dengan rasa cemas Mama.
"Maafin Beby Mah, kalau Beby... selalu membuat Mama ada dalam ketakutan! Tapi Mama tahu kan? Bagaimana kondisi Shania sekarang? Beby janji! Beby gak akan lagi bikin Mama ketakutan, karena Beby pingsan lagi!... Beby mau ngasih semangat Beby untuk Shania, yang selalu bisa ngasih Beby semangat Mah. Beby mau ada disamping dia, dan membuat dia merasakan, kalau Beby tidak pernah ninggalin dia!" Kata Beby sambil memegang kedua tangan Mama, hingga Mama terharu,
"Apa.. Mama mau ngasih izin untuk Beby menjenguk Shania?"
Mama menatapkan matanya yang dipenuhi kesedihan, tidak tahu bagaimana cara menghalangi Beby untuk tidak keluar dari rumah sakit dan menanggalkan pengobatan juga alat-alat medis yang sebelumnya terpasang di tubuhnya. Hingga akhirnya, memberikannya ijin untuk pergi.
"Kak?"
"Iya?"
"Beby... dia gimana kabarnya, ya? Apa... Beby sudah menjalani Operasi?" Tanya Shania disela suapan terakhir makan siangnya.
Ini adalah obrolan pertama setelah sebelumnya Shania hanya bisa membisu dalam kegaduhan di gelap matanya.
"Beby... Dia... dia belum melakukan Operasi itu, Dek!" Jawab Ve.
"Hah? Kenapa? Apa dia tidak mau menerima bantuan dari Shania, Kak?"
"Bukan! Dia tidak mau masuk keruang Operasi bukan karena tidak mau menerima bantuan dari kamu. Tapi,.." Suara Ve terhenti, karena dia melihat Beby masuk keruang rawat Shania, tanpa kursi roda, tanpa ada yang menemani. Seperti terakhir saat Beby ditemani Melody, diatas kursi roda.
Beby memberikan senyuman khasnya pada Ve, lalu melihat Shania.
"Kak..? Tapi kenapa?" Penasaran Shania.
"Ah.. itu... Karena Beby... dia, gak mau di Operasi tanpa ada kamu menungguinya diluar ruang Operasi! Itu yang Beby bilang!"
Shania mengerung sedih; Ve belum menyebutkan adanya Beby diruangan Shania sekarang; Beby duduk disamping Shania.
"..Bodoh!"
Satu kata yang Shania ucapkan membuat Beby yang ingin menyapanya jadi menahan suara, dia diam karena mau mendengarkan lebih, komentar Shania tentang dirinya.
"Kenapa kamu bicara seperti itu, Dek?" Tanya Ve mewakili keinginan Beby yang juga ingin mengajukan pertanyaan yang sama.
"Aku udah susah payah Kak, jual mobil aku untuk bisa dapetin uang itu. Tapi Beby... dengan alasan konyolnya, malah menolak untuk masuk ruang Operasi! Itu sama aja... dia tidak menghargai usaha keras aku!!" Jelasnya, membuat Beby menyimpulkan segaris senyum bahagia.
"Bukan maksud Beby untuk menolak dan tidak menghargai apa yang sudah kamu usahakan untuknya. tapi justru.. dia sangat amat menghargai usaha kamu, hingga dia, tidak mau melakukan Operasi karena kamu tidak ada didekat dia.!"
"Dan itu juga kenapa Shania bilang dia bodoh, Kak! Kenapa dia harus menghiraukan keberadaan Shania untuk jalannya bisa sembuh? Bukankah, kalaupun sekarang Shania bisa menghampiri Beby dan menyuruhnya untuk melakukan Operasi, itu akan sia-sia juga, dan kembali akan dapat penolakan dari Beby!?"
"Maksud kamu? Kenapa berpikir kayak gitu?"
"Kakak pikir... Dengan kondisi Shania sekarang? Beby akan mau, masuk ruang Operasi menerima pengobatan agar dia bisa sembuh? Enggak Kak!. Dia tidak akan mau menerima itu, karena dia mencemaskan kondisi Shania!!"
Beby mengharu mendengar tebakan Shania tentang dirinya, yang memang benar adanya. Ve melihat pada Beby, tersirat diwajah Beby kalau apa yang ditebakan adiknya itu memang benar.
Mereka berdua sudah tahu satu sama lain, tentang watak dan bagaimana mereka.. dari yang bagus sampai yang jelek, tentang sifat dan sikap masing-masing.
"Shania mau... apapun, dan bagaimanapun caranya. Beby harus bisa di Operasi, Kak. sama... Beby belum tahu kan Kak, soal kondisi Shania?"
Sebelum menjawab, Ve melihat Beby terlebih dahulu. Beby menggelengkan kepalanya, agar Ve memberikan jawaban belum, dan mereka bisa tahu apa yang diinginkan Shania.
"..Belum! Kak Melody bilang.. Kamu sama Kakak lagi di Jogja. Jenguk Kakek yang lagi sakit!" Jawab Ve, yang mengerti akan isyarat Beby.
"..Baguslah Kak! Shania akan lebih gampang minta sama Beby untuk segera di Operasi. Dan Beby juga gak perlu lihat Shania dalam kondisi seperti sekarang!! Karena ini... pasti hanya akan jadi beban pikirannya, dan.. Shania cuma akan jadi beban buatnya, penghalang untuk jalannya menuju kesembuhan. Iya kan, Kak?!"
Dari senyum berakhir sendu, ekspresi Shania saat mengucapkan kalimatnya.
Beby mengerung sedih, inginnya dia bicara dan menepis apa yang Shania ucapkan tentang dirinya sendiri yang jadi beban dan penghalang. Tapi Beby tidak bisa sama sekali membuka mulutnya. Perasaannya begitu campur aduk. Bahagia, namun sedih juga.
"Shania mau... Biarkan ini tetap tersembunyi, Kak. Membiarkan Beby dengan apa yang di pikirkannya tentang Shania. Hingga nanti Shania dapat donor mata, atau paling tidak hingga Beby selesai di Operasi dan dinyatakan sembuh oleh Dokter!"
Ve kembali memakukan penglihatannya pada Shania. Dengan sekilas mencuri pandang pada wajah Beby yang mengeluarkan ekspresi sedih, saat mendengar keinginan Shania.
"Kak? Kakak mau kan, janji sama Shania, untuk ikut dengan apa yang Shania ucapkan? Merahasiakan semuanya!"
"Ttt-tapi, Dek..? Itu tidak mungkin! Beby.. sama keras kepalanya sama kamu, dia pasti tidak akan mau melakukan Operasi itu, tanpa adanya kamu didekat dia!"
"Shania akan telpon Beby, agar dia mau di Operasi. Atau, kalau tidak... Shania akan ancam aja Beby, kalau Shania gak mau lagi ketemu sama dia, selama dia belum mau masuk ruang Operasi!"
Beby sungguh tidak habis pikir dengan apa yang diutarakan Shania. Sampai segitunya Shania mencemaskan dirinya, padahal dia sendiri sedang dalam kejaran waktu. Sebuah waktu yang bisa merenggut semua warna dalam hidupnya, untuk selama-lamanya. Namun, belum dia ketahui.
Beby, yang tidak bisa menahan tangisnya, segera berdiri dari tempatnya duduk dan berlari kecil keluar ruangan agar Shania tidak mengetahui keberadaanya.
"Itu siapa Kak?!" Shania bisa mendengar decitan kecil dari kursi dan suara pintu yang sesaat setelah dibuka menutup sendiri.
"Itu...," Ve terlihat bingung, "...gak ada siapa-siapa kok! Barusan Kakak geserin dikit tempat duduk Kakak!" Kilah Ve menutupi. "Oh, iya? Kakak baru ingat, Dek! Kakak harus nebus dulu obat di apotik. Kamu gak apa-apa kan sendirian sebentar?" Ve mencari alasan, untuk mengejar Beby.
"hmm.. Shania gak akan kenapa-kenapa Kak!" Shania sedikit heran, tapi kemudian dia menjawab diikuti anggukan kecilnya.
Ve segera keluar untuk menyusul Beby...
Beby terduduk sendiri didepan kamar rawat yang jarak ke kamar Shania terpaut 2 ruangan. Perlahan Ve menghampiri Beby yang sedang menundukan kepalanya, ia duduk disebelah Beby.
"Maafin Shania, ya Beby?"
Beby mengangkat kepalanya.
"Jangan terlalu kamu dengarkan apa yang tadi dia ucapkan!"
(tidak memberitahukan Beby, dan berpura-pura dia sedang di Jogja!)
Beby sedikit memberikan senyumnya, sebelum menjawab ucapan Ve.
"Gak ada yang perlu dimaafin, Kak. Shania gak salah kok! Beby gak marah sama dia!" Beby mengingat lagi setiap ucapan Shania. "Beby... Beby malah merasa bahagia denger apa yang Shania ucapin. Dia sampai segitu menghawatirkan Beby, padahal dia sendiri sedang dalam kesulitan!"
Ve menyunggingkan senyum, mendengar kata-kata Beby.
"Egois kalau Beby masih bersikeras menginginkan Shania ada didekat Beby, saat akan melakukan Operasi! Sementara, Shania yang sudah susah payah mencarikan dana untuk kesembuhan Beby, begitu mengharapkan kesembuhan Beby!!"
Ve menganggap ucapan Beby adalah persetujuan pada apa yang diinginkan Shania (Operasi).
"Tapi,.. akan jauh lebih egois dan tidak adil untuk Shania termasuk Beby juga. Kalau Beby harus masuk ruang Operasi, dengan Shania yang masih dalam penantian pendonor matanya! Iya nggak, Kak?"
Ve yang mendengar uraian lanjutan dari Beby hanya bisa mengangkat wajah memperlihatkan ekspresi kagetnya.
"Kalaupun Shania mau Beby di Operasi, maka Beby akan menunggu dia mendapat donor mata terlebih dahulu. Agar kita sama-sama masuk ruang Operasi dan mendapatkan kembali kesehatan kita. Itu jauh lebih adil kan, Kak?" .. "Dan soal yang diinginkan Shania, untuk Beby tidak tahu akan kondisinya. Beby akan ikuti kemauannya. Kak Ve sama yang lainnya, bantuin Beby ya?"
Ve benar-benar kehabisan pemikiran jika menghadapi mereka berdua. Saat diruangan, dia mendengar Shania begitu sangat mencemaskan Beby dan menyuruhnya untuk bungkam, dalam sandiwara. Dan kini diluar ruangan, Beby melakukan hal yang sama. Meminta bantuannya untuk bersandiwara juga.
"Haaaahh... Kenapa kamu jadi benar-benar keras kepala, kayak Shania?" Keluh Ve dalam tanggapannya.
Beby tersenyum, "Karena Adik, Kakak yang mengajarkan itu sama Aku" Balasnya dengan diikuti seringai tipis. "lagian,..." Beby kembali memasang tampang serius. "Kemungkinan berhasilnya Operasi buat Beby, sudah sangat kecil Kak. Beby gak mau terlalu menaruh harap pada hal itu, sampai bikin Beby menutup mata dan telinga akan kebaikan orang-orang di sekitar Beby!"
"Kenapa kamu bicara seperti itu? Seperti bukan Beby yang Kak Ve kenal? Kamu gak perlu hopeless gitu. Bayangan kita mungkin terlihat mengerikan, tapi gambaran Tuhan... tidak pernah kita tahu, akan seperti apa? Jangan berburuk sangka, apalagi sama Tuhan. Lakukanlah dulu, soal hasilnya.. kita serahkan sama Tuhan" Ujarnya melihat Beby yang seperti menurunkan rasa percayanya.
"Beby bukan mau berburuk sangka atas apa yang akan Tuhan berikan, tapi justru Beby melihat kenyataan didepan mata. Beby percaya, keajaiban itu selalu ada. Tapi, menurut Beby, tidak akan tercipta keajaiban, tanpa adanya perantara. Tuhan sudah menyeting semuanya Kak. Shania itu ditunjuk Tuhan, untuk jadi keajaiban buat Beby, karena dia.. udah ngasih Beby jalan menuju kesembuhan. Dan seperti yang Kakak bilang, 'Bayangan kita bisa terlihat mengerikan, tapi belum tentu dengan gambaran asli dari Tuhan nanti!' begitupun sebaliknya. Bayangan kita bisa indah, tapi belum tentu dengan gambaran aslinya nanti. Apapun tebakan kita, apapun keputusan Tuhan, itu adalah yang terbaik. Beby percaya itu!! ."
Ve mendengarkan dengan seksama,
"...Jika Tuhan.. bisa menunjuk Shania untuk jadi keajaiban buat Beby. Kenapa tidak, Tuhan menunjuk Beby.. untuk jadi keajaiban buat Shania!? :'-)"
Ve yang begitu serius mendengar setiap ucapan Beby, seketika melihatkan kedua matanya pada Beby saat mendengar ucapan terakhir Beby.
"Apa maksud ucapan kamu, Dek? Jangan bilang..." Pikiran Ve membuat pola tebakan, kalau Beby akan mendonorkan matanya. "Kamu akan jadi... pendo,-"
"Shania sahabat terbaik Beby..." Ve terdiam karena Beby memotong ucapannya. "Dia yang mengajarkan Beby banyak hal. Dari senangnya kehidupan, sampai pahitnya kehidupan. Jika Beby bisa menjadi keajaiban buat Shania, Beby tidak akan menolak hal itu. Beby akan jadi harapan dalam kegelapan yang sedang Shania hadapi! Beby akan tetap hidup, dengan orang terbaik, yang selalu mengajarkan banyak hal baik dalam hidup Beby!" Paparnya, dengan wajahnya dia terawangkan.
Ve tercekat sesaat, mendengar uraian itu. Hingga keduanya jadi saling diam, beberapa saat.
"...Jangan lakukan itu, Beby!" Beby menatap Ve.
"Beby gak akan ngelakuin itu, Kak. Tapi Tuhan, Dialah yang akan melakukannya!"
"Shania gak akan suka dengan apa yang kamu pikirkan! Belum... Mama kamu! Dan bahkan... Kak Ve juga! Jangan pernah kamu ungkapkan pemikiran kamu itu, didepan siapapun lagi. Cukup Kak Ve yang dengar! Dan Kakak, akan anggap, tidak pernah mendengar ucapan itu dari Kamu!!... Kita masih punya harapan buat Shania, dia masih punya waktu!!"
"Berapa lama Kak?" Tanya Beby, yang padahal sudah tahu. "Cuma 1 bulan, Kan? Aku tahu, dan Kakak juga pasti tahu. Kemungkinan dapat pendonor mata dalam waktu sesingkat itu, presentasenya sangat kecil. Sekeceil presentase kesembuhan Beby dengan jalan terakhir yang Dokter sarankan (Operasi)! Beby masih punya waktu dalam kecilnya kemungkinan kesembuhan Beby, tapi Shania... dia tidak punya itu Kak! Shania diburu sama waktu, sementara Beby? Beby itu ditunggu sama waktu. Gak ada salahnya kan? Beby kasih waktu senggang Beby untuk memberikan warna dikehidupan Shania!?"
Beby yang memang sudah membebani pikirannya dengan kebutaan Shania saat pertama tahu (kunjungan waktu diantar Melody), dan penjelasan yang begitu rinci dari Ve. Membuat keputusan sepihak dalam hati, untuk mendonorkan matanya. Belum ada yang tahu akan niatan yang sudah Beby buat itu. Dan saat tadi mendengar apa yang diucapkan Shania, yang begitu mencemaskan dirinya, membuat keputusan sepihak dalam hati itu, akhirnya terlontar juga. Meski baru satu orang yang Beby kabari tentang ide... ide gilanya itu.
"Kalau Kak Ve merasa kita masih punya harapan buat Shania. Kita tunggu sampai harapan itu bisa jadi kenyataan. Namun, jika waktu yang tidak bisa kita hentikan itu datang, dan Dokter masih belum memberikan kejelasan, akan nasib Shania. Maka.., jadikanlah Beby.. harapan terakhir untuk Shania. Beby siap, untuk jadi penerang dalam gelapnya dunia Shania saat ini! Beby siap Kak, kehilangan warna yang Beby miliki, untuk sahabat Beby yang bisa memberikan warna yang lebih indah, dari sekedar warna yang kini Beby lihat!" Usul Beby.
Ve menahan tangis saat mendengar ucapan Beby. Dia begitu terharu tak percaya. Bagaimana mungkin, Beby bisa berpikir sejauh itu untuk Shania. Dia mau mengorbankan sesuatu yang indah dalam kehidupannya untuk Shania, yang bahkan sempat tidak mempercayai dirinya dan memusuhinya akan apa yang tidak pernah dia lakukan.
"Beby akan bicarakan ini dengan Mama... Kakak jangan khawatir, Beby pasti dapetin ijin dari Mama. (Beby menghela nafas), Semoga... rencana indah ini, berjalan lancar dengan hasil yang indah juga! Amin!!" Ucap Beby dengan wajahnya dia tengadahkan, dan hatinya dia lantunkan doa.
"Beby pulang dulu, Kak! Besok atau lusa, Beby kesini lagi. Oh iya, jangan bocorin hal ini sama Shania ya Kak? Karena Beby cuma harapan terakhir, yang bisa saja berubah! Oke?" Beby masih bisa memasang senyum manisnya didepan Ve.
Saat Beby berdiri, Ve ikut berdiri. Menatap lekat wajah pucat Beby yang dipasangi senyum seolah tidak ada percakapan serius yang terucap tadi. Ve langsung melejit memeluk Beby, Beby hanya bisa menyunggingkan senyum lesung pipinya, dalam dekapan Ve.
"Kalian... sangat pintar membuat orang lain cemburu!" Ujar Ve dalam posisi memeluk Beby. "Persahabatan kalian terlalu indah untuk dirangkai dalam kata. Kak Ve... tidak tahu harus bicara apa!" Lanjutnya diikuti tangisan.
"Semua... akan indah pada waktunya, Kak. Kakak percaya itu kan?", Ve menganggukan kepalanya.
"Terima kasih... Malaikat kecil pembawa harapan! Semoga Shania.. tidak sampai di harapan terakhirnya (Beby jadi pendonor)! Kakak gak mau kehilangan kamu, ataupun Shania. Kakak sayang sama kalian berdua :'-)"
"Beby juga! Beby saaaaangat sayang, sama Shania, juga Kak Ve! Malaikat pelindung yang aku sama Shania miliki!! :'-)" Balasnya ikut memuji Ve.
Kehidupan.. memang selalu memberikan banyak pilihan! Namun, ada kalanya pilihan yang diberikan sang pemilik kehidupan. Tidak ada satupun yang bisa membuat kita mengembangkan segaris senyum saat memilih dan menjalani pilihan itu.
Tidak memilih, tidak lantas akan bisa membiarkan hidup tenang dan tetap tersenyum lega. Tapi, memilihpun. Tidak selalu berakhir dengan seutas senyum bahagia. Memilih itu sebuah keharusan, hasil dari pilihan yang diambil.. itu adalah sebuah konsekuensi!
Apapun kejadiannya, pilihan haruslah tetap diambil. Jangan takut pada apa yang akan terjadi setelah mengambil pilihan. Ketakutan diawal, tidaklah lebih baik dari sesal diakhir, semua kenyataan dalam hidup harus terus dihadapi
Sumber : Cemistri Jkt48 | Facebook
Sabtu, 09 November 2013
Pelangi Dalam Sakura *17th Chapter*
...PELANGI DALAM SAKURA...
*17th Chapter
Percikan api semakin terlihat jelas, bermain dengan angin siap membakar tumpahan bensin yang keluar dari tank belakang. Shania dan si supir taksi sudah tidak sadarkan diri. Mereka kini, tinggal menunggu pertolongan yang berpacu dengan waktu. Sementara itu, penumpang Rover yang isinya sama-sama dua orang, sudah lebih dulu dilarikan ke rumah sakit.
Tidak ada yang bisa melakukan apapun. Mereka yang melihat, hanya bisa melihat, memainkan peranan mereka sebagai penonton. Menyaksikan bagaimana skenario Tuhan untuk Shania dan si supir taksi.
Kursi roda itu masih bisa Ochi kuasai, dia menahan kursi roda dengan Beby yang masih kejang-kejang. Rasa takut dan bersalah memasuki hati Ochi yang tadi sempat dikuasai amarah, kala melihat apa yang terjadi pada Beby.
"Beeby? Lu... Kenapa? Beb- Beby...? Lu jangan bikin gue takut! Gue... Gue, minta maaf!" Sesalnya,
Ochi pindah posisi, dari belakang kedepan. Duduk dengan lututnya dia jadikan tumpuan. Kedua tangannya memegang tubuh Beby yang terus bereaksi dengan rasa sakit.
"Bebyyy?"
Mama dan Cindy sampai ditempat Beby dan Ochi.
"Sayang? Kamu denger Mama kan? Bertahanlah.. Lawanlah!!" Ucap Mama dalam isakan tangis ketakutan.
"Kamu! Apa yang sudah kamu lakukan sama Beby? Kenapa kamu masih mau berbuat jahat sama dia? Apa salah Beby sama kamu!!?" Kesal Cindy melihat wajah Ochi.
"Gue... Gue, ahhh! (Ochi terlihat bingung) Gue minta maaf, gue..,-"
"Sebaiknya.. kamu pergi dari sini! Jangan deketin lagi Beby!! Dia gak pernah ngusik kamu juga kan!?" Cindy memotong ucapan maaf Ochi.
Mama tidak menghiraukan mereka berdua, beliau lebih fokus pada Beby yang tadi kejang-kejang, sekarang sudah pingsan dengan darah segar masih terus mengalir dari hidungnya.
"Bertahanlah Nak! Mama tidak akan melepaskan kamu!!"
Mama membelakangi Beby, bermaksud untuk menggendong Beby dari belakang.
"..Cindy..?"
Cindy yang masih menatap benci pada Ochi, segera memalingkan pandangannya pada Mama yang sudah dalam posisi siap membopong Beby.
"Bantuin Tante, kita harus segera membawa Beby kerumah sakit!"
Cindy yang sadar pada apa yang akan dilakukan Mama, segera membantu dengan diiringi penawaran diri.
"Biar Cindy yang menggendong Beby, Tante!"
"Gak perlu, biar Tante... yang membawa Beby dengan tubuh Tante sendiri. Dengan kekuatan yang Tante miliki. Bantulah Tante, bantu Beby naik di punggung Tante!"
Cindy tidak mau memperdebatkan hal ini dengan Mama, dia segera membantu Mama untuk membuat Beby ada di punggungnya.
Beby sudah ada diatas punggung Mama, dia terkulai tak sadarkan diri, tubuhnya begitu terasa ringan untuk Mama. Dengan tangis yang coba Mama kendalikan agar tidak terus mendorong keluar dari muaranya, Mama didampingi Cindy berjalan perlahan, menuruni jalan yang menanjak.
Cindy yang tidak tahan melihat scene itu, segera mengeluarkan handphonenya. Dia baru ingat, kalau tadi.. dirinya masih tersambung dengan Shania. Tapi Cindy tidak terlalu ambil pusing soal Shania dan panggilannya yang sudah mati pada Shania. Cindy segera menelpon perusahaan taksi, dan meminta taksi yang bisa cepat sampai ke lokasi dia, Mama dan Beby berada.
"Halo...?"
"Halo selamat sore.. Apa benar? Ini dengan Nona Ve!?"
Suster tahu nama Ve dari panggilan yang Shania lakukan dengan Kakaknya itu.
"Iya betul, saya sendiri? Ada apa ya, Mbak?" Jawab Ve dengan akhiran tanya.
"Begini, Mbak! Apa... Mbak kenal dengan Shania Junianatha?" Suster memastikan.
Kedua mata Ve membesar saat seseorang yang tidak dia kenali itu menyebutkan nama Shania dalam tanya.
"Saya Kakaknya, ada apa ya? terus ini dengan siapa?" Lancar Ve menembaki si Suster yang akan mengabari dirinya tentang Shania.
Karena sebelumnya Shania meghubunginya dan menceritakan tentang jual mobil, Ve takut kalau yang sedang menelponnya itu yang sudah transaksi dengan Shania dan ada hal yang tidak mengenakan yang akan dia sampaikan tentang transaksi dengan Adik bungsunya itu.
"Saya dari Rumah sakit (pernafasan Ve terhenti, saat dia menangkap kata rumah sakit) Pelita Persahabatan, mau mengabarkan kalau adik Mbak yang bernama Shania Junianatha, baru saja mengalami kecelakaan lalu lintas, sekarang adik Mbak,..... ..... ..... ....."
Ve terlihat lemas, dia tidak bisa lagi menerima informasi dari suster yang ada di ujung telpon, yang tadi dia pikir rekan transaksinya Shania.
"Keee...celakaan?"
Ve mencoba kembali bersuara dengan ketakutan menyeruak dihatinya.
"Iya, Mbak. Saya meminta Mbak untuk bisa segera datang ke rumah sakit, yang beralamatkan di Jalan,....."
Kembali Ve tidak menangkap semua ucapan suster. Saat alamat itu sudah masuk di gendang telinganya, dengan segera Ve berlari menuju mobilnya, mematikan sambungan telpon dan mengingat jalan ketempat rumah sakit yang sudah disebutkan.
Perasaan kaget dan lemas yang dirasa disekujur tubuh, coba Ve lawan. Tapi ketakutan dari mendengar kata kecelakaan itu, tidak bisa dia singkirkan dari hatinya begitu saja.
"Kenapa jadi seperti ini? Kamu... kamu gak apa-apa kan, Dek? ... Ini hanya kecelakaan kecil kan!" Tangis Ve menuruni pipinya.
Tidak berani dia menggambarkan seburuk apa kecelakaan yang dialami Shania, hingga suster dari rumah sakit yang menelponnya. Pikirannya tetap dia tanami dengan... Shania hanya mengalami kecelakaan kecil, dan dia hanya kena luka gores, yang diobati sebentar pun sudah bisa dibawa pulang dari rumah sakit.
Ve mencoba menghubungkan dirinya dengan Shania. Dia menelpon ke nomor Shania. Tapi sayang.. yang menjawab bukan orang yang sedang dia cemaskan, melainkan operator provider. Hati Ve kembali berkecamuk.
"Kenapa telpon kamu mati? Jawablah... Kamu gak apa-apa kan, Shan? Jawablah..." Ve membekap mulutnya, menahan tangis. Matanya yang basah karena tangis dari ketakutan terus menyeret, tetap dia fokuskan pada jalanan yang dia lewati, agar dia bisa sampai pada tempat yang sudah dia ketahui letaknya.
"Tante!?"
Melody ngos-ngosan, berlari dari lobi rumah sakit hingga bisa sampai ditempat Mama, dan Cindy yang tadi memberikan kabar tentang Beby.
"Tante... Cindy...?.... gimana Beby?" tanyanya kemudian.
Mama hanya bisa menjawab Melody dengan gelengan pelan. Cindy memegang bahu Mamanya Beby. Melody melihat wajah Mama yang begitu dirundung kesedihan. Segera, Melody mendekati Mama dan memberikannya pelukan. Seperti anak kecil yang ketakutan, Mama menyambut pelukan Melody, menumpahkan kelelahannya, membagi kesabarannya, memberitahukan lewat tangis yang ia tahan, akan ketakutan yang memburu.
"Tante... Tante belum siap kalau harus kehilangan Beby, sekarang...!"
Melody hanya bisa mengunci mulutnya, merasakan rasa sesak Mama.
Masih ingat betul apa yang Mama lihat saat di dekat taman tadi. Bagaimana Beby bereaksi pada virus mematikan itu. Ketakutan terus menjadi senjata mematikan yang selalu memburu degup jantung Mama, kala melihat kesakitan menyerang tubuh Beby.
"Kenapa semua ini harus terjadi pada Tante? Kenapa Tuhan senang sekali melihat keluarga Tante seperti ini?!"
Melody yang tidak tahu harus mengatakan apa untuk menenangkan Mama, kembali hanya membisu, dengan mengeratkan pelukannya.
Cindy pun hanya bisa diam, lintasan liar, tentang apa yang dia lihat pada Beby dan ucapan Mamanya Beby, begitu terlihat menakutkan jika harus dia gambarkan.
Seseorang yang sedang menangis, tidak butuh banyak hal. Hanya butuh ditemani dan didengarkan. Membiarkan Mama mengeluarkan ketakutan dan kerapuhannya. Memberikan pelukan yang meskipun hanya bisa memberi sedikit rasa tenang, tapi setidaknya, Mama tahu.. Kalau masih ada yang bisa ia ajak berbagi saat rasa sakit itu sudah tidak tahu lagi harus diapakan.
Kini... kedua sahabat itu, sedang berjuang!
Mereka berjuang untuk kehidupannya. Menerima takdir yang sudah tertulis. Memperlihatkan pada sang penulis takdir, jika mereka masih ingin menikmati kehidupan yang telah dititipkan oleh-Nya.
Takdir, memang sudah menuliskan nasib mereka. Tidaklah bisa Shania dan Beby tahu buku yang sudah Tuhan tuliskan untuknya. Sebuah buku yang tercipta kala keduanya dititipkan dalam rahim seorang Ibu. Buku yang sudah tertulis Prolog, Cerita, Epilog, hingga Ending yang pasti. Sebuah buku yang berisi perjalanan mereka, dan kita yang hidup di dunia.
"Kondisinya kritis! Kepala bagian belakang mengalami pendarahan, tapi itu sudah bisa dihentikan. Perutnya yang tertusuk besi, masih mengeluarkan darah. Tensinya sangat rendah. Dan... detak jantungnya sangat lemah!" Ucap dokter pertama menjelaskan, pada dokter kedua. (Ceritanya mau pergantian shift!)
"Selain itu.. ada serpihan kaca yang masuk dalam matanya. Kita sudah bersihkan, tapi belum tahu pasti bagaimana kondisi matanya!" Lanjutnya membuat resume untuk kondisi Shania.
"Saranmu? Tindakan apa yang akan kita ambil untuk pasien kita ini!?" tanya dokter kedua.
Dokter pertama itu melihat pada dokter kedua yang masih membaca status dari Shania dalam board yang sudah berisi rekam medis pengecekan.
"Siapkan ruang Operasi!"
Dokter kedua yang sedang melihat report pun meghentikan laju matanya. Kemudian dia lihatkan pada dokter pertama.
"Kita tidak mungkin melakukan Operasi dengan status pasien seperti sekarang ini!"
Dokter kedua mulai berasumsi karena sudah tahu catatan yang dibuat suster pendamping saat pemeriksaan tadi.
"Anda tahu, kalau resikonya terlalu besar! Pasien bisa saja meninggal, kalau kita mengambil tindakan Operasi ini!!" Jelasnya.
"Dokter! Kita disini.. dokter pertama, yang harus membuat keputusan, akan diapakan pasien yang masuk keruangan ini!"
Dokter pertama yang sudah lelah bekerja dari hari kemarin dan belum mendapat pertukaran shift kerja, sedikit meninggikan suaranya.
"Kalau kita terlalu lama berpikir, bukan ruang Operasi yang akan membuat pasien meninggal. Tapi disini, diruangan ini!!"
Dokter kedua merasa malu, karena apa yang dikatan dokter pertama itu memang benar.
Sebagai dokter jaga di ruang UGD, ruang pertama yang didatangi pasien. Haruslah Dokter yang berjaga diruangan itu, segera bisa memutuskan tindakan yang akan diambil, untuk pasiennya.
"Berikan report itu pada dokter yang ada di ruang Operasi! Agar Operasi bisa cepat dilaksanakan!!" Suruhnya, dengan suara dia turunkan kembali. Dokter keduapun, tak banyak bicara, dia segera keruangan bagian Operasi.
"Suster! Hubungkan saya dengan keluarga pasien!!" Suster segera keluar ruangan.
Pergantian Shift yang harusnya sudah di dapat Dokter pertama, jadi batal. Dokter itu pun kini harus menjadi operator atau asisten dokter diruangan Operasi saat nanti Shania akan menjalani Operasi yang dia sarankan.
Ve tergesa, berlari sekuat tenaga mencapai rumah sakit dari tempat parkiran. Tiba di depan lobi, dia segera menghampiri Suster dan langsung membuat pertanyaan dengan suara takut dan gesture kekalutannya.
"Suster! Ehmm.. Korban kecelakaan lalulintas, yang baru masuk? Dimana?"
"Sebentar Mbak, kami cek dulu!"
Ve menunggu, belum ada hitungan detik dia menunggu, tapi rasanya begitu lama.
"...Suster! Dimana? ahhh!!" Kesalnya dalam kepanikan.
"Iya Mbak, seben..,- Ah ini.. Shania Junia,-"
"Iya itu!" Ve segera memotong ucapan Perawat.
"Pasien masih ditangani di Unit Gawat Darurat. Mbak jalan kedepan, nanti ada belokan pertama yang Mbak temui, dari sana Mbak ambil belokan sebelah kiri. Disana ruang UGD."
Tanpa mengucapkan terima kasih, Ve langsung bergegas kembali memacu kakinya untuk berlari.
Seorang Suster didepan ruangan UGD terlihat sedang berbicara dengan para Polisi Lalu Lintas yang tadi mengawal ambulance yang membawa Shania hingga sampai dirumah sakit.
"Permisi Suster, adik saya yang mengalami kecelakaan lalulintas. Apa dia masih ditangani di UGD?" Ve kembali bertanya. Dia sudah sampai di ruang UGD.
"Maksud Mbak? Yang kecelakaan dari taksi itu?"
"Iya!"
"..Dan, Mbak ini?"
"Saya Kakaknya! Adik saya dimana, Sust?"
"Ah! Mari Mbak, ikut saya!!" Perawat jaga itu segera menuntun Ve.
Dia tadi dapat pertanyaan dari Suster pendamping diruang UGD, tentang.. apakah keluarga Shania ada yang sudah datang. Karena Suster jaga itu bilang belum ada. Suster pun mengatakan kondisi Shania, kalau-kalau keluargnya sudah datang.
"Suster. Keluarga dari pasien kecelakaan lalulintas, yang bernama Shania Junianatha!"
Suster yang tadi sedang bicara dengan para Polisi, segera memalingkan wajahnya dan menatap Ve.
"Mbak... Keluarga dari pasien yang bernama Shania?" Ve mengangguk untuk menjawab.
"Kalau begitu... mari, ikut saya Mbak?"
Suster menuntun Ve hingga keduanya hilang dari koridor dan memasuki ruangan.
Dalam ruang UGD, Ve celingukan mencoba mencari sosok Shania. Tapi sayangnya, setajam apapun penglihatan Ve. Dia tidak akan bisa tahu dimana Shania berbaring, karena setiap ruang dalam ruangan ditutupi tirai penyekat.
"Dok? Keluarga Shania!" Suster menunjukan.
"Selamat sore, Mbak. Silahkan dud,-"
"Adik saya dimana Dok? Bagaimana kondisinya?" Ve tidak menyambut ucapan Dokter. Karena yang ingin dia tahu adalah dimana Shania? Bagaimana kondisinya? Karena saat didepan ruangan tadi, dia melihat ada beberapa petugas Kepolisian. Yang artinya.. Ini bukanlah kecelakaan lalulintas biasa saja.
"...Begini, Mbak.. silahkan duduk dulu. Biar kami jelaskan!" Ve menuruti apa yang dikatakan Dokter.
"...Adik Mbak, harus segera di Operasi (Nafasnya terasa berat, saat kata Operasi dia dengar langsung dari mulut Dokter) kami sekarang sedang mempersiapkan ruangan Operasi untuk pasien. Dan ini... Tandatanganilah surat persetujuan Operasinya, agar kami bisa secepatnya melakukan tindakan lanjutan terhadap Adik, Mbak!"
Dokter tidak menjelaskan kondisi Shania, dia langsung meminta Ve untuk menandatangani surat persetujuan Operasi.
"Operasi? Adik saya kenapa, Dok? Kenapa harus ada Operasi? Apa lukanya..,- Bagaimana mungkin..,- Apa yang sebenarnya terjadi!?"
Ve mencoba tenang, tapi kenyataanya tidak bisa. Dia begitu panik, takut, sedih, dan penasaran juga.
"Tenang, Mbak. Adik Mbak, memang harus secepatnya di Operasi, karena kondisinya saat ini begitu kritis. Sebuah besi menancap di perut bagian kirinya, kalau kami tidak segera mengeluarkan benda itu.. akibatnya bisa fatal untuk Adik Mbak. Dan...,-"
"Dokter, ruangan Operasi sudah siap! Pasien sudah siap mendapat tindakan!!"
Dokter kedua, yang tadi disuruh. Datang memotong percakapan Ve dengan Dokter pertama.
Dokter mengangguk untuk memberikan isyarat. Lalu kembali menghadapi Ve.
"Operasi ini... beresiko cukup tinggi untuk pasien. Tapi, tidak segera dilaksanakan Operasi pun, akan sama beresikonya bagi nyawa pasien! Ambilah keputusan itu. Putuskan.. Masuk ke ruang Operasi? Atau mendengarkan penjelasan saya, dan kita kehilangan beberapa menit yang mungkin akan berharga untuk adik, kamu!"
Suara Dokter itu.. berubah. Dia jadi sedikit menyejukan tapi tetap menusuk.
Ve berdiri dalam kebimbangan, tidak tahu betul bagaimana kondisi sebenarnya Shania, tapi harus membuat keputusan. Apalagi kata-kata yang diucapkan Dokter, membuat kebimbangan itu menjadi ketakutan dan... kekalutan.
"Mbak! Putuskanlah!!" Dokter kembali bicara.
Ve mengambil board yang sudah ada surat persetujuannya. Diam sebentar, lalu... dia membubuhkan tandatangannya. Menyetujui apa yang tertulis dalam selembar kertas yang entah apa isinya, karena tidak sempat Ve baca.
"Selamatkan adik saya, Dok! Saya mohon!!" Lirih ve, berharap pada Dokter itu.
"Berdoalah! Tuhan bersama kita!!" Jawab Dokter dengan masih sempat menyunggingkan sedikit senyum untuk Ve.
"Suster?!" Dokter memberikan isyarat.
Suster itu mengangguk, "Mari Mbak. Saya tunjukan ruang tunggu untuk ruangan Operasi!"
Ve yang wajahnya begitu kusut, hanya bisa mengangguk dan mengikuti suster.
Tidak pernah ada yang menginginkan keburukan menimpa kehidupan yang sedang dijalani. Setiap rencana indah yang kita tuliskan hingga melukiskan senyum bahagia, mungkin tidak akan berjalan selancar saat membuat tulisannya, tidak akan sebahagia saat di wajah itu terlukis sebuah senyum. Namun, jika kita maknai lebih dalam... Rencana indah yang tidak bisa terwujud itu, tidak lantas menjadi buruk. Langit tetaplah biru meski sinar mentari tak menerangi, dan awan putih yang berarak mendampingi, berubah menjadi awan grei yang muram. Masih banyak rencana, yang bisa dibuat. Masih banyak kesempatan yang akan datang. Asal kita percaya, kalau rencana Tuhan itu... Lebih indah dari apa yang kita rencanakan.
Mama hanya bisa memandangi wajah Beby. Kembali beberapa slang kecil dan beberapa kabel kecil berwarna itu dipasang ditubuh Beby. Memberitahukan secara kasat mata jika Beby, keadaannya sungguh sangat... menakutkan untuk dibicarakan.
Seperti yang Dokter bilang.. Kondisi Beby sudah benar-benar sangat mengkhawatirkan. Operasi yang pernah dibicarakan kala itu, harus segera dieksekusi. Tidak ada pilihan lain. Apalagi... waktu Operasi yang mendapat penundaan, ternyata mengalami penurunan perkiraan presentase dalam kesembuhannya. Harapan dalam Operasi yang semula 70:50, untuk kesembuhan. kini menjadi 20:80, untuk kesembuhannya. Karena virus yang sempat mendapat perlawanan dari antibiotik itu ternyata melakukan perlawanan balik dan menyerang sistim imun dalam tubuh Beby, begitu cepat, dan melakukan pembelahan juga penyerangan balik, hingga menyebar kebagian tubuh lainnya, lalu mengakibatkan kondisi Beby terus memburuk. Dan akhirnya seperti sekarang, pengambilan langkah terakhir dalam upaya menyembuhkan Beby pun, menjadi seperti.. menanti hembusan angin di musim kemarau. Kemungkinannya begitu kecil!
Dokter memang bukanlah Tuhan, mereka hanya mengatakan apa yang mereka ketahui berdasarkan hasil pengamatan, dari kemampuan yang mereka miliki. Sebuah kemampuan yang Tuhan titipkan pada setiap orang yang berbeda. Soal apa yang sebenar-benarnya akan terjadi... tetap! Hanya TUHAN yang tahu!!. Dan kita... hanya bisa berharap dan berpasrah pada hasil dari apa yang sudah kita lakukan.
Cindy dan Melody, ikut menyelami wajah tirus Beby, dengan pikirannya membuat pola sendiri, menggambarkan tentang Beby. Lama mereka hening didalam ruangan itu, hingga Melody mengusap lembut tangan Cindy, dan kemudian Melody memberi isyarat untuk Cindy ikut dengannya keluar.
"Kenapa jadi seperti ini..?"
Melody mencoba mencari tahu.
"..... ..... ...... ......" Cindy hanya diam.
"Apa yang sebenarnya sudah terjadi, Cindy?" Melody masih mencoba. "Shania... dia kemana? Kenapa Ibu tidak melihatnya?"
Cindy yang sebelumnya menunduk, mengangkat wajahnya pelan saat nama Shania dan keberadaannya dipertanyakan oleh Melody.
"Cindy..?"
Cindy yang sedang menebak dimana Shania, kaget saat mendengar Melody memanggalinya, hingga refleks jadi menatap Melody.
"ehmm... itu... ini... InisemuasalahnyaOchiBu..!" dalam satu tarikan nafas setelah sebelumnya terbata, Cindy menuduh Ochi lah penyebab kritisnya lagi Beby.
"Ochi?"
"Iya, Bu! Ochi!! Dia..."
Cindy memainkan kembali gambaran saat dia melihat Ochi dan Beby yang berdiri di pinggir jalan yang menanjak, dekat taman. Lalu dengan bersih dan begitu detail, Cindy menceritakan semuanya pada Melody. Termasuk Shania yang juga tahu tentang kejadian itu.
"Sudahlah! Kita tidak perlu bahas ini dulu (Maksudnya Ochi), dan soal Shania... Dia tahu, dan jelas-jelas tadi kamu dengar kalau Shania meminta letak taman, dimana Beby dan Ochi berada, kemudian menyusul. Tapi, kenapa sekarang Shania belum kelihatan disini!!? Apa kamu tidak memberi tahu dia, kalau Beby dibawa kerumah sakit?!"
Heran Melody, dia tahu bagaimana Shania. Apalagi mendengar alur cerita yang Cindy dongengkan. Tidaklah mungkin Shania tidak mau melihat Beby.
"Tadi, sebelum Cindy menelpon Ibu. Cindy telpon dulu Shania untuk ngasih dia kabar. Tapi,... HP nya mati, Bu! Gak tahu kenapa, jadi tiba-tiba gak bisa dihubungi!!"
Jelas Cindy mencoba menjawab keheranan Melody. Bukannya keheranan itu terjawab, malah semakin menjadi. Melody sekarang malah membuat karangan, dalam menebak kalau-kalau Shania sedang mendatangi Ochi dan marah-marah padanya.
"Sudah telpon Kak Ve?"
Melody kembali bertanya. Dia masih ingat, pada apa yang diucapkan Ve saat mereka ada dirumah Beby. Intinya, Ve ingin... kalau ada apapun tentang Beby, dan Melody mengetahuinya. Melody bisa memberikannya kabar.
Cindy menggeleng, "Cindy... gak tahu nomor HP nya Kak Ve, Bu!" katanya setelah menggeleng.
"Ya sudah, emm.. kamu, sebaiknya pulang. Istirahatlah. Besok harus sekolah juga kan?" Melody begitu lembut dan perhatian.
"Enggak, Bu! Cindy mau disini. Cindy mau nemenin Beby, sampai dia sadar!" Tolak Cindy.
"Cindy. Dengerin Ibu?... Kalau kamu, memaksa tubuh kamu yang sudah lelah ini bekerja lebih lagi. Nanti kamu bisa sakit, dan akhirnya.. kamu tidak akan bisa menemani Beby karena kamu sakit! Apa kamu mau? Seperti itu!"
"Tapi, Bu? Cindy gak apa-apa Kok! Besok Cindy akan tetap sekolah, dan.. Cindy juga gak akan sakit, Cindy janji!!"
"Ibu tahu itu! Kamu mungkin gak akan sakit, sekarang. Tapi nantinya? Kamu gak tahu kan?" Cindy diam, "Ibu.. akan memberi kamu kabar, kalau ada apa-apa, atau ada perkembangan apapun tentang Beby! Ibu janji!!"
Cindy yang sadar tidak akan mungkin menang dari gurunya itu, akhirnya menyerah dan pulang, setelah sebelumnya berpamitan pada Mama.
"Makasih ya sayang, udah mau bantuin Tante!"
Cindy membalas ucapan Mama dengan senyuman.
"Beby... pasti baik-baik aja Tante! :'-) Tante yang kuat ya?! Cindy akan selalu bantuin Tante, sama Beby!"
Sebelum meninggalkan ruang rawat, Cindy memberikan semangatnya untuk Mama. Mama memeluk Cindy begitu erat, dengan memberikan kecupan diatas kepala Cindy, Mama melepas pelukannya dan mengucapkan kembali kata terima kasih.
Ve duduk dengan begitu gelisah. Pikirannya sedang keruh. Tidak bisa dia berpikir tentang apapun! Hingga getaran dari telpon yang berderingpun tidak dia hiraukan (yang menelpon Melody). Yang bermain dipikirannya sekarang hanya tentang Shania.. Shania.. dan Shania.... Shania si Adik satu-satunya yang sangat dia sayangi, yang sekarang sedang memperjuangkan kehidupannya diatas bangsal didalam ruangan Operasi.
Sesekali, Ve melihat lampu diatas pintu ruangan Operasi. Berharap lampu itu segera berganti dengan warna hijau, penanda kalau Operasi sudah selesai.
Hari ini... Benar-benar seperti mimpi buruk untuk Ve. beberapa jam sebelumnya dia masih bisa bercengkrama lewat telpon dengan Shania. Tapi beberapa jam setelahnya, seperti.. seperti kilatan petir yang menyambar di tengah teriknya matahari, saat seseorang mengabarkan kalau Shania mengalami kecelakaan.
Ve masih bisa mengingat saat dirinya dan Shania berbincang lewat telpon. Apalagi bagian terakhir diperbincangannya. Suara manja Shania, ucapan Shania yang mengatakan ingin dipeluk, terasa begitu dekat, namun merasa akan jauh.
'Itukah pertanda yang Tuhan berikan? Dia memberi tahu, tapi aku tidak peka!' Sesal Ve dalam penantiannya.
8 Jam! Operasi itu.. akhirnya selesai juga. Jam dinding sudah menunjukan hampir tengah malam. Lampu merah sudah berganti jadi hijau. Seorang Dokter keluar dari ruangan itu. Dokter yang berbeda dari Dokter yang meminta Ve untuk menandatangani surat persetujuan. Tapi siapapun itu, Ve tidak perduli. Yang dia tahu, Dokter itu keluar dari ruang tempat dimana Shania tadi dimasukan.
"Bagaimana Adik saya, Dok?" Tanya Ve segera.
"...Operasinya sudah selesai, dan berjalan lancar." Sedikit, Ve merasakan kelegaan di hatinya.
"Tapi,-" Kelegaannya seketika tersapu dengan satu kata yang akan melahirkan banyak kata lainnya.
"Tapi apa Dokter?"
"Kondisi pasien masih belum stabil! Saat diruang Operasi, dia sempat kehilangan banyak darah, dan kembali mengalami pendarahan ringan dikepala bagian belakangnya."
Ve merasakan sakit saat mendengar ucapan itu. Membayangkan bagaimana perjuangan Shania. Dia hanya bisa menahan tangisnya agar tidak pecah.
"Meski semua akhirnya bisa Pasien lewati. Namun demikian, apapun kondisi terburuk yang pasien alami saat diruang operasi dan akhirnya bisa diselesaikan. Hasil akhir tetap pada kondisi pasca Operasi!"
"Maksud Dokter? Jelaskanlah dengan bahasa yang bisa saya mengerti Dok!" Pinta Ve dalam kelelahannya.
"Kondisi pasca Operasi itu.. kondisi dimana pasien bisa kembali merespon, meski dengan respon kecil seperti menggerakan jemari, atau menggumam saat kami mengeluarkan suara dan bertanya." Ve mengerung sedih, "Dan itu... ada batas waktunya! Seperti dalam kasus Adik Mbak saat ini. Jika dalam waktu 48jam, dia tidak memberikan respon ataupun reaksi, penanda kalau dia sudah bisa melewati masa pasca Operasi. Maka dia dinyatakan Koma. Dan mungkin... waktunya untuk hidup, akan menipis!!"
Penjelasan Dokter membuat Ve meraskan kelemasan dan ketakutan bukan main. Dia merasa sedang dilempar dari ketinggian paling tinggi, hingga membuat dadanya terasa senyap.
"... Apa yang bisa kita lakukan Dok..ter? Lakukanlah sesuatu untuk Adik saya! Jangan... Jangan biarkan dia..., Jangan biarkan saya kehilangan dia, Dokt..er!? Saya tidak mau kehilangan Adik saya!!" Ve menangis kesakitan.
Dokter memegang pundak Ve. "Berdoalah! Mintalah harapan itu pada Tuhan!! Dia akan selalu mendengar ucapan dalam doa setiap umatnya. Percayalah apa yang sekarang terjadi, adalah yang terbaik untuk Kamu, dan adik kamu!."...
Dokter meninggalkan Ve sendiri diruang tunggu.
Sepeninggal Dokter, Ve berjalan dari ruang tunggu. Dia menuju Ruang ICU tempat dimana Shania kini berbaring. Setelah kabar yang seperti kilatan itu dia terima dan semua berjalan terasa begitu lamban namun ternyata cepat. Ve baru bisa sekarang melihat Shania dengan mata kepalanya sendiri. Dia mendekati kaca dan melihat lebih dekat raga Shania. Air matanya mengalir deras, ketakutan menyelimuti Ve saat ini. Apa yang dilihatnya... sesuatu yang mengerikan, tidak pernah dia membayangkan ataupun membiarkan pikirannya dilintasi hal seperti yang sekarang dia lihat. Menyaksikan Shania dari balik sebuah kaca, Shania yang terbujur tak berdaya, dengan luka yang jelas terlihat dan luka yang tak terlihat.
'Apanya yang terbaik? Apa... air mata dan kesakitan itu.. yang terbaik yang bisa Tuhan kasih buat aku sama Shania?' Matanya dia pakukan nanar kearah Shania.
'Bangunlah, Dek! Kakak butuh kamu!!' Air matanya semakin tak terbendung, Ve membekap mulutnya sendiri.
Semilir angin tengah malam diluar gedung rumah sakit. Seakan terasa masuk dilorong itu, dan membuat tubuh Ve menggigil kedinginan.
'Kamu... mau bantuin Beby kan? Bangunlah... Kak Ve mohon!!' :'-(
---
Ve yang sebentar, sangat sebentar bisa memejamkan matanya diruang tunggu ICU. Kembali berjalan lemas kearah kaca, dimana dia bisa melihat Shania. Harapan itu.. masih ada dalam diri Ve. Tapi, dalam hitungan beberapa jam kedepan, mungkin Ve akan kehilangan harapannya, jika apa yang dituliskan untuk Shania, tidak seperti apa yang dia angankan.! Shania bisa melewati masa kritisnya, dan kembali bisa membuka kedua matanya, tanpa harus ada dalam kondisi Koma!.
Tidak ada sekelabatpun pemikiran yang melintas dalam kepalanya, untuk Ve menghubungi Papa dan Mama, dan memberitahukan tentang Shania. Apa yang sudah Ve ketahui tentang kelakuan kedua orangtuanya, sudah cukup untuk Ve jadikan alasan tidak melibatkan mereka dalam kondisi Shania yang jauh dari kata stabil.
Cindy masuk kesekolah, dia terlihat tidak bersemangat sama sekali. Yang dia pikirkan hanya Beby dan kondisinya. Seolah pijakan itu tak terpijak, berjalan diatas kaki sendiri, tapi merasa tidak berjalan.
Apa yang bisa aku lakukan buat Beby? Uang sebanyak itu.. untuk biaya Operasi itu... darimana aku punya uang sebanyak itu? Pikiran Cindy diam-diam menanyakan
"Cindy?"
Langkahnya dia hentikan, karena mendengar seseorang memanggilnya. Lalu Cindy mengerung benci saat tahu siapa yang sudah memanggilnya.
"Ada apa?" Dinginnya Cindy menanggapi.
"Gue.. gue pengen tahu gimana keadaan Beby?" Tanya Ochi kemudian
"Gak usah pura-pura perhatian! Apa kamu masih belum puas, melihat Beby sekarang terbaring lagi di rumah sakit!?"
Cindy tidak lagi takut saat berhadapan dengan Ochi, yang bisa saja malah Ochi menyerang balik.
"Gue beneran tanya, karena gue.. gue merasa bersalah sama dia!"
"Kalau perasaan bersalah kamu itu masih berguna, kamu sebaiknya datang ke rumah sakit, dan bicara langsung! Gak perlu kamu utarain di depan aku, karena buat aku itu gak akan ada gunanya!!"
Cindy bergegas meninggalkan Ochi, setelah ucapannya yang dingin.
Ochi yang ditinggal hanya bisa diam terpaku ditempat semula, sembari melihat hilangnya punggung Cindy dari pandangannya.
"Gue emang bodoh! Harusnya... gue kenali dulu Beby. Harusnya... gue gak ambil tindakan konyol karena dorongan emosi itu. Harusnya... Arghh!! Bego!!!"
Ochi memaki dirinya sendiri dalam balutan perasaan bersalahnya untuk Beby.
Kembali meneruskan langkahnya, dengan rasa benci masih dia sisakan pada Ochi. Cindy, tiba-tiba jadi kepikiran Shania.
Apa Shania sudah tahu kalau Beby masuk rumah sakit lagi? Kalau belum, Shania kemana? Dia kemarin bilang akan datang. Tapi, sedikitpun tak terlihat penampakannya.
"Gaby!?"
Cindy melihat Gaby yang sedang berada diluar kelas.
"Cindy? Ada apa?" Tanya Gaby, dengan senyum hangatnya.
"Shania ada dikelas gak?"
"Shania? (Gaby menggeleng), Gue belum lihat dia pagi ini! Emangnya ada apa, Cind?" Tanya Gaby penasaran.
"Heeemm.. aneh ya? Jam segini, Shania belum kelihatan di sekolah?"
Gaby menggerakan kedua bahunya, menanggapi Cindy, "Mungkin dia gak akan masuk! Emangnya ada apa sih, muka lu kayaknya serius banget!?" Kembali Gaby bertanya.
"...(Cindy hanya menggelengkan kepalanya pelan)"
"Pastii... ada hubungannya sama Beby ya?"
Gaby mencoba menebak,
Cindy tidak menjawab ataupun memberi isyarat jawaban. Dia hanya menatap Gaby.
"Beby kenapa... Cindy? Dia baik-baik aja kan?" Gaby mulai cemas.
Cindy menghela nafas, begitu dalam.
"Nanti... kalau Shania masuk. Aku minta tolong sama kamu buat sampein kalo Beby ada di rumah sakit Harapan! Bolehkan, Gaby?"
Pertanyaan heran Gaby, tidak Cindy urai, dia hanya menitipkan sebaris kalimat untuk Shania.
"Ehm.. Kenapa lu gak telpon aja, Shania nya?" Saran Gaby, dalam rasa iba setelah mendengar ucapan Cindy.
"HPnya gak bisa dihubungin dari kemarin sore. Ya udah, aku ke kelas dulu, Makasih ya Gaby!!"
Cindy berjalan menuju kelasnya, menyeret lagi kakinya yang berat dilangkahkan.
"Ma...maa..." Suara Beby terdengar sangat lemah.
"Sayang? Kamu udah bangun! Mama panggilin dulu Dokter, ya?" Mama bersiap berdiri. Sambil menyeka air disudut matanya.
"Hsss... Jaa..ngan. Beby... mau sama Ma..ma!"
Mama yang sudah siap pergi, jadi kembali duduk.
"...Ini... Beby dimana, Ma?"
Beby memainkan matanya, menyambangi setiap sudut ruangan. Setelah dia berhasil menahan Mama pergi dari sampingnya.
"...Kamu, kamu dirumah sakit, sayang!"
"Rumah sakit?!"
Beby menyuruh memory dalam otaknya untuk memainkan kejadian sebelum dia akhirnya masuk rumah sakit.
Mama mengusap lembut wajah Beby, kini.. ada sedikit senyum menghias di bibir Mama yang akhirnya bisa melihat Beby siuman. Setelah dari kemarin sore dia hanya terbaring dengan memejamkan matanya.
"Ochi..?" Beby menyebutkan nama itu.
Mama membuat kerungan, "Ochi?"
"Iya, Ochi dimana Ma? Dia gimana?"
"Sayang! Kenapa kamu harus menanyakan anak itu!? Dia.. yang kemarin mengajak kamu ke taman dijalan itu kan?" Ucapan Mama terdengar tidak suka.
"Ochi.. dia kemarin ngajak Beby buat jalan-jalan Mah!"
Beby mencoba membuat alasan.
"Kamu, jangan selalu menutupi kesalahan orang lain, dan membiarkan diri kamu sendiri yang jadi korbannya, sayang! Kamu gak bisa seperti itu terus!!" Kata Mama yang sudah mendengar asumsi dari Cindy.
"...Beby gak pernah nutupin kesalahan siapapun, Mah! Ochi... dia kemarin emang ngajak Beby keluar. Dia cuma mau berbagi ceritanya, Mah! Dia gak ngelakuin apapun kok!!" Ujar Beby yang bisa tahu kekhawatiran sekaligus ketidak sukaan Mama saat Beby mengatakan 'Ochi'.
"Ya sudah, kita gak perlu bahas itu!... Kamu gimana? Kepala kamu sakit, gak sayang?" Mama mengalihkan topik pembicaraan.
Beby menggeleng, "Beby gak apa-apa. Maaf ya Mah, Beby selalu bikin Mama khawatir dan begitu mencemaskan Beby!!"
"Tidak akan ada seorangpun Ibu, yang tidak pernah tidak mencemaskan anak-anaknya. Sekalipun buah hatinya itu dalam keadaan sehat! :'-). Jadi.. kamu gak perlu meminta maaf sama Mama!"
Beby tersenyum, "Makasih Mah! Beby sayanggg banget sama Mama!!".
"Kalau kamu sayang sama Mama. Kamu harus sembuh, kamu harus melawan rasa sakit kamu itu! Ya?"
"Beby akan selalu memberikan yang terbaik yang Beby bisa, Mah! Beby janji :'-)" Ucapan dari bibir itu, diiringi rasa ciut yang tidak bisa Beby pungkiri.
Dia sangat tahu bagaimana keadaan tubuhnya sendiri. Dalam kondisi seperti sekarang, entah apa hal terbaik yang bisa Beby lakukan untuk bertahan dan memberikan senyum di sudut bibir Mama, yang wajahnya begitu terlihat lelah dan sedih.
"Eh ya, Mah! Shania... dia dimana?"
"Shania... dia mungkin masih di sekolah! Cindy aja belum dateng kan?" Jawab Mama.
"Sekolah? Hmmm.. Beby... jadi kangen sama sekolah Mah!.. kira-kira... Bisa gak ya? Beby masuk sekolah lagi?"
Hati Mama terasa sakit saat mendengar harapan Beby. Tapi beliau coba paksakan tersenyum dan menjawab dengan memberikan semangatnya.
"Pasti bisa Kamu kan... Anak Mama yang kuat!".
Beby kembali mengembangkan senyum mendengar ucapan Mama.
Malam menjelang, waktu itu... waktu yang Dokter bilang tentang kondisi Shania pasca operasi. Ternyata tidak berhasil Shania lewati. Dia dinyatakan dalam kondisi koma. Kondisi yang entah akan sampai berapa lama Shania hadapi. Satu jam? Satu hari? Satu minggu? Satu bulan? Entahlah, tidak ada yang tahu. Seperti yang dokter bilang...
'Tidak ada yang bisa memprediksi waktu sadarnya seseorang yang telah di vonis dalam keadaan koma.'
Ve duduk disebelah Shania. Memegang lembut tangan berkulit putih yang kini memucat dan terasa dingin. Meskipun heater didalam ruangan berfungsi. Dia belum bisa mengeluarkan suaranya, yang Ve lakukan hanya duduk dan memperhatikan wajah Shania yang sedang tertidur, tidur panjang.. yang entah kapan akan bangunnya!
Apa yang harus dia ucapkan didepan raga Shania yang dalam kondisi Mati tidak, hidup pun enggak. Apa yang hari ini Ve dapat, sungguh membuat hatinya bercampur segala rasa, hingga bibirnya tidak bisa merangkai kata jadi kalimat.
Ingatannya memutar ke waktu saat dirinya sedang menunggu Shania, diluar ruang ICU pagi tadi. Ve dihampiri petugas kepolisian lalulintas yang menangani kejadian yang menimpa Shania dan si supir taksi naas, yang telah meninggal siang tadi, karena lukanya sangat parah.
Petugas memperlihatkan barang-barang milik Shania, Ve ditawari untuk membawa barang itu, atau dia biarkan saja para petugas membawanya. Selain itu, Ve juga diberitahu tentang pengendara rover yang sudah menabrak taksi. Mereka yang juga mendapat perawatan dirumah sakit yang sama, yang sempat masuk UGD, tapi kini sudah dipindah keruang rawat biasa.
Saat melihat si pengendara Rover dari luar ruang rawatnya, Ve begitu sangat amat terkejut. Wajah itu... Wajah yang tidak asing untuk Ve. Seorang pria yang pernah dia lihat bersama Mama nya di sebuah apartemen. Kontan, saat Ve mengenali wajah si pengendara SUV. Dia bertanya pada petugas 'Apa pria itu bersama seseorang saat mobilnya menabrak taksi yang sedang ditumpangi Adiknya?'. Petugas menjawab 'ya' dan kemudian mengantarkan Ve keruangan disebelahnya, tempat teman semobil si pria. Wajah terkejut Ve, bertambah menjadi wajah marah-semarah-marahnya. Dia melihat Mamanya yang ada diruang rawat itu. Menggambarkan bagaimana SUV yang dikendarai pria itu dengan Mama duduk disebelahnya, menghantam taksi yang didalamnya sedang dinaiki Shania!. Ve tidak masuk kedalam kamar rawat Mama, dia kembali keruang tunggu ICU. Terduduk sendirian, dengan tangis dan kesedihan jadi teman setia.
"Maafin Kakak! Kamu denger suara Kakak kan? Kamu harus bangun, Dek! Kamu... gak akan ninggalin Kakak sendirian kan?" Ucapan Ve bercampur dengan air matanya.
"Kakak... tidak mungkin menghadapi semua ini sendirian! (Menghadapi Mama dan Papa dan kondisi kacau di keluarganya!) Temani Kak Ve. Kakak butuh kamu, Sha..nia... "
Ve menunduk, mencium tangan adiknya. Lalu dia simpan tangan yang terlilit slang dengan jarum yang membentuk sebuah infus itu ke pipinya. Mencoba menghangatkan tangan dinginnya Shania.
Kejadian yang terasa begitu cepat, dialami. Kini hanya menyisakan rasa takut, dalam selimut tanya pada Tuhan.
'Kenapa harus seperti ini, jalan hidup yang Dia berikan untuknya dan Shania?'
Tapi, sebanyak apapun tanya yang melintas liar mendiami pikiran. Hingga kadang berujung tuduhan pada Tuhan tentang ketidakadilan hidup yang Dia berikan. Tidak akan menghasilkan apapun, kecuali rasa sakit yang semakin membuat sesak.
Pasrahkan semuanya pada Tuhan, tapi jangan menyerah. Karena pasrah tidak berarti menyerah.
Menyerahkan rasa sakit itu untuk bisa Tuhan obati, setelah pengobatan yang dilakukan sendiri tidak membuahkan hasil. Menyerahkan kondisi yang dalam kekacauan pada Tuhan untuk bisa dibenahi, setelah upaya yang dilakukan sendiri tidak menghasilkan apapun. Pasrah... setelah semua upaya kita tempuh, bukan Pasrah.. tanpa ada upaya dan hanya mengangkat tangan menyerah pada semuanya.
Sore ini, rencananya Ve akan pergi menemui Mama, dan Beby yang dirawat di rumah sakit Harapan. Setelah kemarin dia mendengar dari Si Mbok, kalau ada guru dan teman-temannya yang mencari Shania.
Selain ingin memberi tahu soal kondisi Shania, Ve juga ingin memberikan uang hasil penjualan mobil yang Shania lakukan sebelum kecelakaan itu mendahului Shania untuk bisa menyampaikan kabar gembira pada Beby, kalau dia bisa di Operasi. Ve juga sudah membaca pesan dari Melody, kalau kondisi Beby terus memburuk, dan harus segera di Operasi.
Pagi harinya, setelah menemui Shania. Ve langsung menemui Teller-teller di Bank, untuk mengambil tabungan milik Shania yang sudah Shania beritahukan lewat pesan singkat sesaat setelah Shania dan Ve berbincang melalui Line telpon. Memberitahukan segala kebutuhan kalau-kalau dia tidak bisa mengambil uang itu. (Pertanda lain, tentang Shania yang akhirnya mengalami kecelakaan!).
"Cindy.. Kak Melody..."
Beby menyambut hangat kedatangan mereka keruangannya.
"Haii..., gimana hari ini? enakan?!"
Melody yang pertama menyapa.
Beby mengangguk, "Semakin baik, Kak." diikuti jawaban palsu. Beby bilang badannya semakin baik, padahal dia sama sekali tidak sedang baik. Dan yang ada didalam ruangannya kini, tahu persis akan hal itu.
"Cindy?" Beby mengalihkan pandangannya pada Cindy.
"Ya?" Jawab Cindy.
"..Shania mana? Kok dia gak kesini? Udah 4 hari, selama aku disini. Shania gak ada kesini juga!"
Pertanyaan dari Beby membuat Cindy menelan ludahnya sendiri. Tidak tahu harus memberikan jawaban apa.
Cindy melihat kearah Melody dan Mama Beby. Seolah meminta tolong pada mereka tentang jawaban apa yang harus Cindy ucapkan di depan Beby tentang Shania. Shania yang, sedang dalam kondisi koma, tapi yang ada di dalam ruangan itu belum ada yang tahu.
"..Shania lagi,.. (Melody berhenti sejenak).. Dia lagi ke Jogja, nemuin dulu Kakek sama Neneknya!" Ucap Melody.
"Ke Jogja? Emangnya Kakek sama Neneknya kenapa Kak? Apa mereka sakit?" Beby tidak langsung diam menerima apa yang dikatan Melody.
Terpaksa, Melody yang sebenarnya belum tahu Shania ada dimana, dan Kakaknya juga yang tidak bisa dihubungi, kembali membuat kebohongan dari kebohongan yang sudah dia buat.
"(Melody mengangguk), Itu yang dibilang sama pembantunya waktu Ibu, Cindy sama Gaby juga Noella ke rumahnya Shania."
Akhirnya, Beby bisa diam setelah apa yang diutarakan Melody.
Sementara Mama dan Cindy didalam ruangan menemani Beby. Melody malah diam diluar ruangan. Ve yang baru datang, bisa melihat didepan ruang rawat Beby ada Melody yang sedang duduk sendirian. Setelah menanyakan dibagian depan, dimana ruang tempat Beby dirawat, Ve akhirnya sampai juga di lorong ruangan yang hanya ada beberapa orang diam diluar ruangan, menunggui keluarganya, seperti yang Melody lakukan.
Sampai didepan Melody, Ve tidak bicara. hingga Melody yang menyadari adanya seseorang yang sedang berdiri didepannya, mengangkat wajahnya.
"Ve...!" Suara Melody begitu halus.
Dia seketika berdiri dari duduknya.
"Akhirnya... Kamu kesini juga! Kamu sama Shania? Beby nanyain Shania sama Kamu terus tuh!" Lega Melody saat melihat Ve, dia kemudian bertanya.
Ve kembali merasakan sakit saat mendengar nama Shania disebutkan. Dia menitikan lagi air matanya. Melody jadi kaget saat melihat Ve menangis.
"Kamu kenapa? Ayo sini duduk dulu!" Kata Melody, dengan menuntun Ve untuk duduk.
Ve masih diam, dan Melody.. hanya bisa ikut diam dengan pikirannya entah memikirkan apa, kala bisa melihat lebih dekat dan jelas wajah Ve. Wajah yang kusut, lusuh, sedih, sakit, sebuah lukisan diwajah Ve yang belum pernah Melody lihat sebelumnya.
Beberapa menit lamanya Ve mencoba melawan tangis yang terus keluar dari muaranya. Hingga akhirnya dengan perlawanan pada air matanya sendiri, Ve bisa menghentikan tangis takut itu. Dia menghirup udara begitu dalam agar bisa memenuhi rongga parunya yang sesak karena tangis.
"Beby,.. dia gimana Bu?" Tanyanya Formal pada Melody.
"Gak usah panggil Ibu, panggil aja Kak Melody!" Jawabnya tidak ingin dipanggil Ibu, lalu menjawab lagi pertanyaan Ve.
"Beby... seperti yang sudah Kak Melody bilang dalam SMS, sama Chat. Kondisinya terus menurun, dan dia.. harus sesegera mungkin di Operasi! Meski presentase kesembuhannya, semakin menipis dari yang sebelum-sebelumnya, tapi Dokter bilang, kalau bisa di coba, kenapa tidak dilakukan!?"
Ve mencerna ucapan dari Melody. Dia sangat merasa kasihan pada Beby.
"Kalau begitu... lakukanlah Operasi itu Kak! Sebelum semua menjadi semakin terlambat!!" Usul Ve.
"Itu yang mau kita semua lakukan Ve, tapi..,-"
"Soal biayanya,.." Ve memotong ucapan Melody, dia mengedepankan tasnya, dia buka lalu mengambil sesuatu. "Ada titipan dari Shania, untuk Beby!" Ve memberikan amplop Coklat Muda ke depan Melody.
"Apa ini, Ve..?" Melody mengambil amplopnya.
Bola matanya melebar, saat bisa melihat apa yang ada didalam amplop itu.
"Ini... Ini semua.. dari Shania?" Ve mengangguk. "Tapi? Dari... Darimana dia bisa dapetin uang sebanyak ini? terus sekarang Shanianya dimana?" Melody heran, tapi juga ada rasa senang dalam hatinya,
"Beby pasti akan senang dapat kabar gembira ini, apalagi.. yang membantunya Shania! Iya kan?"
Ve mencoba memberikan senyumnya, mendengar rasa senang Melody.
Mama dan Cindy masih diam diruangan menunggui Beby. Belum ada yang tahu kalau Ve datang kerumah sakit.
"Jadi? Shanianya sekarang dimana? Biar Kak Melody bisa langsung kasih tahu Beby dan juga Tante Ana, kalau Beby bisa di Operasi! Dan biar Shania, bisa lihat sendiri proses Operasi. Mendampingi Beby melewati semuanya!!"
Melody kembali menanyakan keberadaan Shania, dengan diikuti harapan dalam kegembiraannya.
".. Shania... Dia gak bisa dampingin Beby masuk ruang Operasi. Dia juga belum bisa menjenguk Beby, Kak!"
Suara Ve jadi serak, dia kembali berjuang melawan tangisnya agar tidak pecah.
"Kenapa? Ada apa Ve?"
Melody akhirnya bisa merasakan sesuatu yang tidak beres, saat mendengar Ve bicara.
Ve kesulitan mengeluarkan suaranya, dia menunduk... lalu menangis dengan dia bekapkan tangan kanan ke mulutnya sendiri, agar suara tangisnya tidak terdengar.
"Heyy.. Kamu kenapa? Ada apa sebenarnya? Ve?!"
Melody mendekat dan memegang tangan kiri Ve yang bebas. Dengan tangan kanannya, dan tangan kirinya dia usapkan ke bahu Ve.
"...Shania.. Dia... Dia mengalami kecelakaan Kak!..."
Melody baru bisa mengangakan mulutnya saat mendengar suara Ve yang bercampur dengan tangis.
"Shania koma, dan... Aku gak tahu, kapan dia akan bangun...!"
Dengan perasaan percaya-tidak percaya mendengar kata kecelakaan dan koma yang melibatkan Shania, Melody segera memeluk Ve yang masih menangis.
"Dia yang... harusnya memberikan uang itu sama Beby...," Ve terisak, Melody kini ikut menangis menitikan air matanya.
"Semuanya.... gak seharusnya seperti sekarang... kalau saja... kalau saja waktu itu, Aku menjemput Shania... Aku yang salah... Aku gak bisa jaga Shania, Kak! Aku yang udah bikin Shania seperti itu... Aku... Aku takut kalau,-"
"Sssuutt, udah Ve. Jangan nyalahin diri kamu seperti ini! Tabahlah!!" Melody mengelus punggung Ve, untuk memberikannya ketenangan.
Lama, cukup lama Ve dalam dekapan Melody, menumpahkan rasa sesak didadanya. Hingga dia melepaskan pelukan Melody dari tubuhnya. Dan kembali bicara.
"Lakukan.. segera Operasi untuk Beby, Kak!"
Ve menyeka air matanya. "Karena itu yang Shania mau.. Melihat Beby sembuh dari penyakit Kankernya!"
Melody menggelengkan kepalanya. "Kalaupun, Operasi itu akan dilakukan. Maka, bukan Kak Melody yang akan menyerahkan uang ini sama Beby juga Tante. Tapi, Shania! Dialah yang harus memberikan uangnya!!" Ujarnya sambil memberikan amplop yang tadi Ve berikan.
Melody ada dalam keadaan serba salah dan tidak enak. Tidak mungkin dia memberikan kabar gembira diatas kabar duka, yang menimpa Shania.
"...Kalau kita menunggu Shania, entah kapan Operasi itu akhirnya akan bisa dilakukan. Shania Koma, Kak! Aku gak tahu kapan dia akan kembali!?..."
Mata Ve berair saat mengucapkan kalimatnya.
"Kalaupun.. Kak Melody berikan uang ini sama Tante Ana. Dia pasti akan bertanya darimana Kakak dapat uang ini! Terus? Jawaban seperti apa yang harus Kakak berikan!?"
"Alasan apapun Kak! Kita semua ingin agar Beby sembuh kan?... Lakukanlah, karena semua ini... yang diinginkan Shania. Jangan sia-siakan perjuangan Shania, untuk Beby, Kak! Aku mohon!!"
Ve mengembalikan amplop coklat itu kepangkuan Melody.
"Shania... emang gak ada disini. Tapi, Aku yakin.. dia pasti melihat semua ini! Temuilah Dokter, setujui prosedur Operasi. Biarkan Beby sembuh. Biarkan Shania tersenyum melihat hasil perjuangannya.! :'-(" Ucap Ve begitu tulus.
Melody akhirnya menyerah, dia tidak lagi menolak. Apa yang diutarakan Ve, memang benar adanya. Dia memegang kembali amplop coklat itu.
"Aku harus balik ke rumah sakit Kak. Karena Shania disana sendirian! Titip Beby ya Kak :'-)"
Ve berdiri dari tempatnya tadi duduk.
"Tunggu!" Melody ikut berdiri. "Apa tidak sebaiknya kamu temui dulu Beby sama Tante Ana?" Usul Melody.
Ve terdiam sejenak. Dia melangkahkan kakinya kepintu tempat ruangan Beby dirawat, melihat kedalam dari balik jendela kecil dipintu, terlihat sosok Beby didalam, Ve memandangi Beby.
"...Kalau Aku masuk dan nemuin Beby, dia pasti akan tanya dimana Shania! Dan Aku.. gak mau Beby kepikiran soal Shania yang mengalami kecelakaan, karena Beby pasti gak akan mau melakukan Operasi, kalau dia tahu kondisi Shania.!" Ve begitu pasti membuat tebakan.
"Jagain Beby ya Kak? Kabari Aku kalau Operasinya siap, dan saat nanti sudah selesai!"
Ve masih bisa mencemaskan Beby, ditengah kecemasannya memikirkan Shania.
"Ve..?" Melody memanggil Ve yang sudah siap pergi.
Setelah jaraknya begitu dekat. Melody melejit memeluk Ve.
"Shania akan baik-baik aja! Dia pasti akan kembali menemani kamu, dan kita semua..!" Ucap Melody dalam pelukannya pada Ve.
"Terima kasih, Ve. Terima kasih juga buat Shania. Beby.. sungguh sangat beruntung bisa memiliki sahabat seperti Shania, dan kamu yang sudah menganggap dia adik."
Ve hanya bisa mengangguk pelan, dengan di dalam hati meng amini ucapan Melody.
Sampai kembali dirumah sakit tempat Shania dirawat, Ve yang akan masuk ke ruang ICU, di cegah oleh suster. Dia bilang, didalam ruangan penuh, jadi Ve tidak bisa masuk dulu. Saat Ve tanya siapa yang sedang menjenguk Shania, Suster itu bilang... Orangtuanya Shania.
'Papa sama Mama(?) Mereka ada didalam?'
Rasa tidak percaya menguap dalam hati, Ve menanti keluarnya dua orang yang suster bilang orang tua Shania.
Sekembalinya dari luar, Melody diam memandangi Beby yang sudah tidur. Pikirannya menerawang membuat gambaran masa depan, seandainya Operasi itu dilakukan. Tapi, bagaimana kalau Beby tahu soal Shania yang mengalami kecelakaan?
Melody mengelus wajah Beby, ada sekelebat gambaran Shania ketika tangannya menyentuh wajah Beby.
"Kamu pasti sembuh!" Ucapnya lirih,
'Kalian berdua pasti akan sembuh!!' lanjutnya berucap dalam hati.
Mama yang melihat tingkah Melody, sepertinya merasakan sesuatu yang 'aneh' dari sikapnya. Meskipun Mama bukan Mama kandung Melody, namun perasaan seorang Ibu sangatlah sensitif. Dia bisa tahu apa yang sedang dirasakan anak-anaknya, ataupun orang yang dekat denganya.
Hanya dengan melihat wajahnya saja, dia bisa merasakan ada sesuatu yang sedang membuat anak-anaknya gusar, bahkan,.. meski hanya lewat sikap kecil yang tak terlihat. Dia selalu jadi yang pertama tahu.
Seorang Ibu yang benar-benar Ibu, akan tahu setiap keceriaan dan kesedihan yang sedang dihadapi anaknya. Sekalipun Ibu sedang dalam rasa lelah, sedih, karena masalah atau lain hal yang sedang dihadapi.
"Mel?" Melody melihat Tante Ana, "Bisa Tante bicara sebentar?" Melody mengangguk, karena kebetulan dia juga ingin memberitahukan Operasi Beby.
"Cindy? Tante titip Beby ya?" Pinta Mama.
"Siap Tante " Dengan senang hati Cindy menjawab.
Mama menuntun Melody keluar ruangan.
"Ada apa..?" Tanpa basa-basi, Mama langsung bertanya.
"Maksud Tante?" Heran Melody,
"Apa yang sedang kamu pikirkan? Tante tahu, ada yang sedang kamu bingungkan, iya kan?"
Melody menghela nafas, ketika mendengar pernyataan Mama. Tanpa berlama-lama, dia mengeluarkan amplop coklat yang tadi diberikan Ve.
"Beby bisa di Operasi Tante! Besok, kita temui Dokter ya? Beby pasti akan sembuh!"
Ucapan Melody harusnya diutarakan dengan keantusiasan, tapi ini? Dia terlihat gusar dan begitu nyata terpampang diwajahnya, kalau Melody sedang menyembunyikan sesuatu.
"Dan ini... Biaya untuk Operasi Beby, Tante!"
Melody memberikan amplop itu pada Mama.
"...Darimana kamu dapetin uang ini?"
Pertanyaan Mama langsung ke inti.
"Jangan pikirkan darimana uang ini, Tante. Yang pasti, ini uang.. untuk Beby! Untuk jalannya Beby menuju kesembuhannya!!"
"Apa yang sudah Kamu sama Mama Kamu jual, Mel? Ini bukan jumlah kecil, kenapa kamu harus sampai melakukan semua ini, untuk Beby?"
Mama mencoba menebak, menyelami pikiran Melody.
Melody yang tadinya tidak ingin memberitahu, seperti yang diinginkan Ve, jadi terpaksa harus mengatakan yang sebenarnya. Karena Mama mengira uang itu darinya.
"Bukan Tante! Itu bukan dari Melody!!"
Jawaban Melody seketika mendapat pertanyaan lain dari Mama.
"Lantas? Dari siapa uang ini?"
"...Itu dari... dari Shania Tante!"
"Shania?" Melody mengangguk, "Shanianya sekarang dimana? Darimana Shania mendapatkan uang sebanyak ini, Mel? Terus, kenapa dia belum menjenguk Beby? Tapi malah ngasih uang yang jumlahnya segini banyak!"
Mama memberondongi Melody dengan tanya herannya.
"Shania... bukan Shania langsung yang memberikan uang itu, Tante! Tapi..." Melody diam sebentar, "Tapi.. Ve! Dia yang memberikan uangnya!!"
"Sekarang Ve? Terus Shanianya?"
"...Shania... dia... (Melody memejamkan kedua matanya, sebelum melanjutkan penjelasannya.), Shania... dia mengalami kecelakaan saat menuju pulang dari tempatnya mendapatkan uang ini, Tante!"
Pernyataan Melody langsung membuat Mama lemas.
Ve sempat menceritakan kronologi kejadian kecelakaan yang menimpa Shania.
Mama menundukan kepalanya lemas. Dua rasa yang masuk dalam hatinya, rasa senang saat mendengar Beby bisa di Operasi, tapi kemudian.. ada rasa lain yang mencampuri kegembiraan yang dirasa hingga tidak tahu pasti bagimana harus bereaksi.
"Ve tidak mau kalau Beby tahu soal kondisi Shania, yang saat ini sedang Koma, Tante! Yang Ve inginkan, kita segera mengajukan pada Dokter kalau Beby siap di Operasi. Dan menurut Ve, itu juga yang Shania inginkan!!"
"Koma..? Separah apa Mel?" Tanya Mama dengan raut wajah begitu sedih.
"Melody.. juga belum lihat langsung Tante! Besok.. Melody akan kerumah sakit tempat Shania dirawat. Dan Tante... ambilah keputusan itu Tante (Beby segera di Operasi). Ini semua... Shania yang menginginkan!"
"Haaaah... Skenario seperti apa yang sudah Tuhan buatkan, untuk mereka!? (Shania dan Beby)" Tanya Mama dalam campuran rasa didalam hatinya. Melody mendekati Mama dan memegang bahu Mama dari samping.
"Ve..?"
Suara Papa terdengar, Ve mengangkat kepalanya. Saat dia bisa melihat, ternyata.. Di sebelah Papa ada Mama yang masih mengenakan pakaian pasien.
Papa dan Mama mendekat, Ve beranjak dari duduknya. Dia melihat Papa... kemudian Mama... dengan tatapan dingin dan kuncian mulut, yang tidak ada sepatahpun kata meluncur dari bibir tipisnya itu. Ve lalu menyeret tubuhnya sendiri, untuk masuk keruangan tempat Shania masih terbaring.
"Ve tunggu, Ve! Papa mau bicara sama kamu?" Papa mencoba menghentikan Ve.
"Mama juga, Sayang! Mama mau bicara sama kamu?"
Ve yang tidak siap berhadapan dengan Papa dan Mama, hanya diam.
"Mama... mau minta maaf, Ve! Mama menyesal!!" Suara Mama sudah berat.
Ve yang ingin meninggalkan, malah jadi merasa berat untuk melangkahkan kakinya.
"Harusnya Mama yang ada di posisi Shania sekarang!... Ini semua salah Mama!!" Sesalnya.
Mama mengingat kondisi Shania, dia menarik kembali gambaran saat sedang dengan Pria didalam SUV Rover waktu itu. Mama dan si Pria yang mengemudikan, ternyata sedang terlibat adu mulut didalam mobil, hingga si Pria kehilangan kontrol dan ke fokusannya saat menyetir. Dan... terjadilah kejadiaan naas nan mengerikan yang sampai merenggut satu nyawa, dan nyawa lainnya terancam dalam kematian.
"...Dan Papa juga! Ini semua salah Kami,.. Papa dan Mama yang sudah gagal jadi orangtua buat kalian!!"
Papa ikut andil menyalahkan diri sendiri.
Ve merasakan sesak, saat mendengar ucapan yang membuat panas gendang telinganya.
"Lihatlah Papa sama Mama, Ve! Kami tidak mau, kehilangan kalian. Kamu sama Shania adalah pemberian Tuhan yang paling indah!! Maafkan tingkah Papa sama Mama yang sudah pernah mengabaikan kalian!!?" Ujar Papa.
Ve masih tetap tidak membalikan badannya untuk bertatap muka dengan Papa dan Mama.
"Kalau kamu masih marah. Tidak apa-apa, Mama cuma bisa berharap.. Kamu sama Shania, bisa maafin Mama... juga Papa! Maafi,-"
"Simpan kata Maaf itu Mah! Simpan penyesalan Papa sama Mama. Karena semua sudah terjadi!!" Ve membuka mulutnya juga.
Mama dan Papa mendengarkan dalam rasa sesalnya. (Mama menghubungi Papa dan memberitahukan tentang kejadian ini. Dengan cara mereka yang tidak dimengerti Ve, keduanya malam ini terlihat akur. Mungkin mereka sudah sadar akan kesalahan besar yang sudah mereka lakukan. Dan sekarang... tinggal bagaimana kedua orang yang dulu saling mencintai ini, menghadapi penyesalan yang muncul setelah sadar dari kesalahannya.)
"Kalau Mama masih percaya dengan harapan. Berharaplah... Tuhan masih memberikan waktu untuk Shania. Berharaplah... Tuhan masih bisa membuat Ve, menghilangkan rasa kecewa Ve, agar tidak jadi kebencian, buat Mama... juga Papa!..."
Mama menangis sesenggukan, Papa mendekat dan memeluk Mama dari samping. Mereka menyaksikan ucapan putri sulungnya, yang bahkan saat bicara tidak sama sekali memperlihatkan wajahnya pada mereka.
"...Nikmati penyesalan itu. Teruslah berharap, agar Kami... titipan terindah dari Tuhan ini, tidak membenci kalian. Karena Kita tahu, Kita tidak pantas untuk menaruh benci pada Papa sama Mama yang sudah berjuang keras, membuat Kita seperti sekarang ini!... Tapi, Papa sama Mama pasti tahu juga? Aku.. sama Shania, cuma manusia biasa Pah, Mah! Kekecewaan ini, sudah membuat Kita, kehilangan respect sama Papa juga Mama!!... Maafin Ve!!!" Ucapan terakhir Ve, meminta maaf!
"...Veee... Maafkan Mama...."
Mama semakin sakit dalam tangisnya.
Ve tidak mau menggubris, dia melanjutkan langkah kakinya menuju ruangan. Tanpa sedikitpun menolehkan wajahnya pada Papa dan Mama, yang menyebutkan namanya juga Shania, dengan iringan kata Maaf.
Kekecewaan itu sudah terlanjur terpatri dalam hati. Apa yang mereka sudah lakukan.. yang Ve sebut 'Orang Tua, Papa Mama' yang posisinya begitu sangat amat Ve hormati di sela rasa sayangnya. Membuat Ve menjadi merasa begitu sangat jauh dari Papa dan Mama, tidak mengenali lagi sosok panutan yang dulu selalu dia agulkan. Ditambah kejadian yang sekarang menimpa Shania, sungguh membuat Ve enggan kalau harus bertatap muka dengan kedua orang dewasa, yang sempat mengedepankan sifat kekanakannya itu dalam menghadapi masalah.
Kembali, Ve hanya bisa duduk disebelah Shania. Menggenggam tangan pucatnya, menatapnya nanar, terdiam bersama alunan desah nafas Shania dibalik oksigen, mendengarkan nada lemah dari irama alat perekam detak jantung yang tersambung dengan jantung Shania lewat kabel-kabel kecil.
Beberapa menit lamanya Ve dalam posisi itu, hingga dia akhirnya bisa mengeluarkan suaranya.
"Kapan bangun, Dek? :'-( Kakak kangen sama kamu!"
Ve ingat apa yang dikatakan dokter 'Shania.. memang dalam kondisi Koma, tapi jauh dialam bawah sadarnya, dia bisa mendengarkan ucapan mereka yang berbicara didekatnya, merasakan sentuhan fisik yang dia terima'
"Kamu tahu? Kak Ve... Kakak udah ngelakuin apa yang kamu mau!" ...
"Beby pasti akan sembuh! Dan sekarang... Kamu yang harus sembuh!! Lihatlah, kalian akan bisa kembali membuat tulisan tentang kisah persahabatan kalian nanti..!!"
Ve membiarkan air matanya yang mendorong, jatuh dari tempatnya. Membasahi tangan Shania yang sedang dia pegang.
"Berjanjilah? Saat mentari mulai menyeruak, menemani pagi. Kamu akan membuka mata kamu, untuk kembali menemani Kakak!... Kakak tidak perduli, disaat mentari yang mana kamu akan bangun, Dek. Yang Kakak mau... Kamu, kembali bangun. Kakak akan selalu menunggu kamu! Kamu yang tidak akan pernah ninggalin Kakak, dan Kakak.. yang tidak akan pernah melepas pelukan Kakak sama Kamu!!"
Sudut mata Shania meneteskan air mata. Dia merasakan, dia mendengar, tapi dia tidak bisa melakukan apapun. Seperti ada di dunia.. namun bukan dunia.
*-*
Berdiri dikeramaian, tapi kesepian.
Berdiri dibawah teriknya matahari, tapi kedinginan.
Hanya berdiri dalam diam, karena tidak tahu dan mengerti pada apa yang terjadi.
Malam ini Beby begitu gelisah dalam tidurnya, seperti sedang ada yang memburu dalam mimpi yang memasuki tidurnya, sebuah mimpi buruk yang membuat Beby mengeluarkan keringat dingin. Sampai Mama, Melody, dan Tante Rose, yang melihat merasa takut.
Mama mencoba memanggil untuk membangunkan Beby, tapi dia tidak membuka matanya. Hanya desah nafas keresahan yang mengalun dari bibir Beby, dan gerakan kegelisahan yang diperlihatkan tubuh kurusnya, pada mereka yang setia mendampingi diruangan itu.
Melody segera menekan tombol Urgent, di sebelah kiri kepala Beby. Memberitahukan pada Suster jaga, kalau ada yang tidak beres diruangan itu.
"Beby?"
Beby menoleh kebelakang, "Shania...?" dengan senyum yang terpancar dari wajah pucatnya, Beby menyebutkan nama Shania.
"Kamu mau kemana?" Tanya Shania.
Mereka berdiri saling bersebrangan.
"Aku harus pergi, Shan!"
"Pergi? Kemana? Kamu gak boleh ninggalin aku sendirian!" Ujar Shania.
"Aku gak akan pernah ninggalin kamu. Aku akan selalu ada didekat kamu kok. Tapi... aku harus pergi!"
Beby mengulaskan senyumnya, sebuah senyum manis yang begitu tulus.
Shania memaku melihat Beby.
"Kamu gak bisa pergi gitu aja! Aku... Aku akan bikin kamu sembuh, Aku udah minta sama Tuhan, Beby. Dan kamu... akan sembuh!" Shania menitikan air matanya.
"Apa yang bisa kamu lakukan sekarang? Kamu udah minta sama Tuhan. Tapi kamunya sendiri? Kamu gak ada di dekat Aku! Aku gak cuman butuh uang atau bantuan lain apapun dari Kamu. Tapi Aku juga butuh Kamu. Datanglah, Aku butuh Kamu, Shania!!!"
Ucapan terakhir Beby, dibarengi dengan kepergiannya dari hadapan Shania. Kepergian yang begitu cepat, hingga Shania tidak tahu arah yang dituju Beby.
"Beby..?!" Shania berteriak dan mencari sosok Beby, "Bebyyy....!? Jangan tinggalin aku sendirian! Bebyy....."
Tangannya bergerak, jemari putih yang dipasangi slang infus dan darah itu menggerakan diri. Shania memperlihatkan gerakan kecil yang berarti. Saat dia sedang berteriak dialam yang tidak dia ketahui, memanggil dan mencari Beby yang pergi meninggalkannya.
Suster jaga ruang ICU segera memanggil Dokter. Ve yang sedang duduk mencoba beristirahat, didalam ruang tunggu khusus penunggu pasien yang ada diruang ICU, menggerakkan bola matanya. Mengikuti gerakan suster, untuk mengetahui apa yang terjadi diruangan itu.
"Aaada apa Suster?"
Ve mencegah suster yang keluar dari dalam ruangan setelah sebelumnya memanggil dokter.
"Ada perkembangan bagus, dari adik Mbak! semoga ini pertanda baik, ya Mbak!!" Jelas Suster membuat Ve seperti mendapat angin sepoy ditengah padang pasir yang gersang. Meski kabarnya belum begitu pasti, namun harapan Ve kembali menyeruak kepermukaan.
"Bagaimana, Dok?"
Pertanyaan sama yang terus Mama ulangi setiap ada Dokter yang memeriksa Beby.
"Tidak ada apa-apa. Semua masih tetap sama! Tidak ada tanda kalau kondisi Beby menurun!!"
"Kalau tidak apa-apa? Kenapa Beby terlihat gelisah, Dok?" Kembali Mama bertanya, "Dan saat kita coba bangunin, Beby tidak merespon!"
"Kemungkinan... itu hanya efek samping dari obat. Tubuh pasien, sesekali bisa memperlihatkan reaksi seperti itu, saat dia dalam pengaruh obat yang baru masuk dalam tubuhnya."
Sedikit penjelasan Dokter yang bisa Mama terima, akhirnya bisa membuat Mama tenang. Ditambah, Beby pun kini sudah terlihat biasa lagi, menikmati tidur malamnya.
"Oh iya Bu? Bagaimana dengan Operasi Beby? Kapan akan ada persetujuan pelaksanaan Operasi itu?" Mama termangu. "Waktu terus berjalan, kita tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang masih ada di depan mata!" Ujar Dokter.
Dan sebelum dokter itu keluar ruangan. Dia kembali merangkaikan kalimat magicnya. "Kami harap, keputusan dari Ibu bisa secepatnya Kami dengar. Agar Kami bisa mempersiapkan semuanya! Pikirkan baik-baik Bu, kesempatan selalu ada, tapi alangkah lebih baik jika saat kesempatan pertama itu datang, kita segera mengambil keputusan, akan diapakan kesempatan itu!" Dokter pun pergi meninggalkan ruang rawat Beby.
"Apa yang harus Aku lakukan?" Mama memegang tangan Beby.
Melody dan Tante Rose melihat Mama. Mereka berdiri disamping Mama yang duduk menghadap Beby.
"Apa yang Dokter bilang, ada benarnya An. Kesempatan memang selalu ada. Tapi akan lebih baik pada hasilnya nanti, kalau kita mengambil keputusan dikesempatan pertama yang kita miliki. Apapun keputusan kamu, jangan sampai membuat satu sisi senang, namun sisi lainnya.. tidak bisa menikmati kesenangan!" Tante Rose bicara begitu lembut.
"Kalau kamu masih ragu menerima bantuan dari Shania untuk Beby, karena Shania juga sedang sakit. Maka sebaiknya, kamu bicarakan ini sama Beby! Membiarkan dia tahu kebenarannya, tidak akan menyakiti dia, An!" Ujar Tante, yang seolah tahu akan ketakutan Mama kalau seandainya dia bicara tentang Shania yang sedang dalam kondisi koma karena kecelakaan.
"Aku takut! Kalau Beby tahu soal kondisi Shania, dia malah drop. Dan... kita tidak tahu, apa yang akan terjadi sama Beby! Itu juga kan, yang Ve bilang?"
Mama melihat Melody. Apa yang sudah Mama lihat pada diri Shania ketika menjenguknya tempo hari, setelah Mama menerima uang dari Melody yang diberikan Ve. Membuat Mama berdiri dalam kebimbangan.
Menandatangani surat persetujuan Operasi untuk Beby, dan membiarkan putrinya itu dalam ketidaktahuan tentang kondisi Shania, yang terlihat buruk saat itu. Beby berhasil Operasi, dan mungkin dia akan sembuh, tapi Shania?.
Atau.. memberitahukan pada Beby tentang Shania, dan menjelaskan kondisi juga kemauan Shania. Agar Operasi bisa dilakukan tanpa ada yang ditutupi dari Beby.
Mama yang paling tahu bagaimana Beby. Saat Mama memberitahukan Opsi kedua, sudah jelas akan dapat penolakan dari Beby. Dan jika Mama langsung memutuskan Beby masuk ruang Operasi, tanpa memberitahu kondisi Shania. Ending yang belum bisa ditebak bisa saja melahirkan penyesalan.
"...Kamu yang lebih tahu bagaimana Beby. Kamu pasti bisa mengambil keputusan yang benar, Ana! Ikuti apa kata hati kamu. Beby butuh kamu!!"
Tante mengelus lembut pundak Mama. Melody memeluk Mama Ana dari samping, dengan pandangannya dia lihatkan pada Beby.
Pagi hari kembali datang, dengan ditemani mentari dan kicauan burung. Menyambut semua pejuang untuk menjalani lagi aktifitas mereka.
Satu sekolah, kini sudah tahu tentang Shania yang mengalami kecelakaan. Ochi, Gaby, Noella, Vanka dan Octy, merasa sedih saat mendengar kabar yang dia dapat dari Gaby. Gaby yang selalu jadi orang pertama tahu soal berita hangat yang beredar disudut sekolahnya. Sementara Cindy, dia bukan hanya merasakan sedih. Tapi juga merasakan perasaan bersalah, karena waktu itu.. dia yang menghubungi Shania dan memberitahukannya mengenai Beby yang tidak ada dirumah.
Sementara, Shania sendiri sudah bisa dipindah keruang rawat biasa siang ini. Menurut dokter, kondisinya sudah mulai menunjukan perubahan yang signifikan, meski dia belum sadarkan diri sepenuhnya. Namun, yang paling penting, Shania sudah berhasil melewati komanya.
Ve merasakan kelegaan yang teramat, saat akhirnya Shania bisa dipindah keruang rawat, karena dengan begitu dia bisa menemani Shania setiap saat. Tanpa harus menunggu jam masuk seperti saat di ruang ICU.
Mama dan Papa tahu akan hal itu (Shania pindah ruangan), karena mereka juga menemani Shania dirumah sakit. Meski Ve menganggap keberadaan Papa dan Mama antara ada dan tiada. Tapi Ve tidak bisa mengusir mereka dari dekat Shania. Karena bagaimanapun juga, mereka tetaplah orangtua bagi dirinya, dan juga Shania.
"Kenapa berdiri disini sendirian?!"
Tanya Mama pada Beby yang sedang ada di balkon ruang rawatnya.
"Cuacanya dingin, anginnya gak enak!" lanjutnya.
"...Shania... apa dia marah sama Beby, Mah?"
Tanpa melihat Mama dan menghiraukan perkataan Mama, Beby melagu menanyakan Shania.
"Kenapa bicaranya seperti itu?"
Mama memegang tangan kiri Beby, melihatnya dari samping.
"Sudah seminggu Beby dirawat disini. Dan selama itu juga, Shania gak terlihat Mah! Mungkin dia marah sama Beby. Iya kan?"
"Dia tidak lagi marah sama kamu sayang. Dia.. Shania kan..." Mama berhenti berucap. Beby mengerung.
"Masih di Jogja? Kakek sama Neneknya masih sakit, Mah?" Beby menyalip ucapan Mama dengan pertanyaannya.
Mama tidak langsung menjawab, beliau memikirkan apa yang dikatakan dokter semalam. Memikirkan apa yang dikatakan Tante Ana. Memikirkan apa yang dikatan Ve. Menimbang semua ucapan itu, membiarkan dirinya menjadi terdiam karena pikirannya sedang saling berdiskusi. Memberitahukan tentang kondisi Shania, membuka jalan untuk Beby masuk keruang Operasi. Atau tetap merahasiakan kondisi Shania dan langsung bisa memasukan Beby keruang Operasi.
"Mah?" Beby memegang balik lengan Mama, hingga Mama sadar dari lamunannya.
Mama memberikan senyumnya pada Beby, "Mama... Mama mau kamu di Operasi sayang!" Jawaban Mama melenceng dari topik yang Beby buka.
"Bukan ini yang sedang Beby bahas, Mah! Lagian.. Operasi itu, hanya jalan kecil yang sempit, yang sulit untuk bisa Beby lewati. Untuk Beby... tidak menjalani Operasi itupun, tidak apa-apa Mah!" Jawab Beby diikuti senyum duka diwajahnya.
Beby berkata seperti itu, karena dia tahu betul, tidak mungkin untuknya bisa menjalani Operasi. Biaya darimana untuk menjalankan Operasi modern itu?! Uang Mama mungkin sudah sangat menipis karena pengobatan yang selama ini dia jalani. Selain itu, apa yang dia rasa pada tubuhnya, cukup bisa membuat Beby menarik kesimpulan kalau dirinya tidak akan pernah baik-baik lagi!.
"Beby minta sama Mama... Jangan terlalu membebani pikiran Mama dengan semua hal.. yang tidak mungkin bisa Beby nikmati Mah. Beby sudah merasa bahagia dengan semua ini! Beby sudah siap dengan kemungkinan apapun yang akan Tuhan berikan untuk Beby!! :'-)"
Ucapnya dalam kepasrahan.; Mama memegang wajah Beby,
"Yang Beby mau... Kalian semua selalu ada didekat Beby. Menemani Beby kalau Kanker ini suatu saat membuat Beby harus meninggalkan tubuh Beby. Mama, Shania, Kak Ve, Kak Melody, Tante Rose, Cindy. Kalian semua, selalu ada hingga nafas terakhir Beby nantinya!... Mama mau kan, menemani Beby sampai akhir?"
Pernyataan dan pertanyaan itu membuat Mama merasa dipukul dibagian dada, hingga Mama menitikan air matanya. Mama memberikan pelukan hangat untuk Beby.
"Mama akan selalu menamani kamu. Sampai kapanpun! Mama sayang sama kamu!!"
Bisik Mama ditelinga Beby. Dan Beby hanya bisa membalas ucapan itu dengan senyum haru, dan pelukan yang dia eratkan pada Mama.
Beby menarik tubuhnya, melepaskan diri dari pelukan Mama. Mama mengusap air mata yang ternyata menetes dari kedua bola mata Beby.
"Beby... kangen sama Shania, Mah. Sama Kak Ve juga! Kapan ya? Kak Ve sama Shania pulang dari Jogja!?"
Ucapan Beby membuat Mama membayangkan wajah mereka berdua.
"...Kamu mau ya sayang di Operasi?" Mama malah kembali menyinggung soal Operasi.
"Mah... tadi udah Beby bilang kan, kalau..,-"
"Kalau Operasi ini, permintaan langsung dari seseorang yang sedang kamu kangenin?"
"Maksud Mama?" Kerung Beby bertanya.
"...Shania, dialah yang meminta Mama agar kamu segera menjalani Operasi!" secuil penjelasan Mama membuat Beby kembali bertanya.
"Shania? Dia itu... masih aja, selalu menggampangkan sesuatu! Darimana biaya untuk Beby bisa masuk ruang Operasi, Mah?"
"Dari Shania langsung!" Jawab cepat Mama, membuat Beby kembali mengerung.
Beby tahu, keluarga Shania sekarang begitu sangat mapan dalam keuangan, tapi itu tidak lantas membuat Shania bisa dengan mudah mendapatkan uang jika dia meminta pada kedua orangtuanya yang sedang jauh dari jangkauannya.
"Uang untuk biaya Operasi kamu ini.. dari Shania. Dia.. dia menjual mobilnya, untuk bisa menolong kamu!"
"Apa..?" Ucapan Mama membuat Beby menganga tak percaya.
"Kamu harus mau menjalani Operasi ini, kalau kamu memang menganggap Shania itu sahabat terbaik kamu! Karena dia... sudah memberikan yang terbaik buat kamu, sayang!" Beby masih termangu dalam haru menyelimuti air mukanya.
"Shania... dia melakukan itu, cuma buat Beby Mah?" Mama mengangguk untuk menjawab tanya Beby.
"Mah? Boleh gak? Beby... pinjem Handphone Mama!?"
"Buat apa sayang?"
"Beby mau hubungin Shania, Mah. Kalau dia sudah melakukan itu semua buat Beby, maka.. Beby mau, dia ada di dekat Beby, saat Beby masuk dalam ruang Operasi!" Mama kaget mendengar apa yang diinginkan Putri kesayangannya itu.
"Tapi sayang? Shania kan masih...,-"
"Beby akan tunggu Shania pulang Mah. Dia pasti akan ada di dekat Beby!" Potong Beby yang mengira Shania masih di Jogja.
Mama yang bimbang dalam mengambil keputusan, untuk memberitahukan Beby tentang yang sebenarnya. Malah jadi tidak tega saat mendengar keantusiasan Beby yang menginginkan adanya Shania didekat dia, saat Operasi berlangsung.
'Benar apa kata Rose!' Mama kembali mengingat ucapan Mamanya Melody. 'Apapun keputusan kamu, jangan sampai membuat satu sisi senang, namun sisi lainnya.. tidak bisa menikmati kesenangan!'
'Aku tidak bisa membiarkan Beby masuk keruang Operasi dengan ketidaktahuannya tentang Shania. Dia memang berhak, dan bahkan harus tahu. Tentang kondisi Shania yang sudah mau berkorban untuk dirinya.'
Mama memegang erat kedua tangan Beby. Memakukan tatapannya, mengumpulkan semua kekuatannya, Mama siap memberitahukan kenyataan yang selama satu minggu ini beliau tutupi dari Beby. Memberitahukan sebuah kenyataan dari kesemuan yang sudah dibuat. Dengan bersiap pada kemungkinan apapun, yang akan Beby perlihatkan, setelah ucapannya meluncur.
Shania perlahan membuka matanya. Mengerang sakit dengan suara lemahnya. Kepalanya terasa begitu berat dan sakit, inginnya menggerakan tangan untuk memijat kepalanya yang terasa sakit itu, tapi dia kesulitan untuk menggerakan tangannya, karena selama satu minggu hanya tidur, tidur yang membuat semua orang panik.
Yang bisa Shania lakukan hanya memejamkan mata, dengan suara erangan diikuti desisan pelan dari mulutnya. Ve yang ketiduran disebelah Shania, bisa merasakan ada sekidit gerakan dibangsal yang dia pakai menyimpan kepalanya saat dia menjaga Shania, hingga dia tertidur. Setelah gerakan yang dia rasa, Ve mendengar suara dari sebelahnya. Kontan, Ve langsung mengangkat kepalanya, dan melihat Shania yang setengah jam sebelumnya masih memejamkan mata.
"..Shania..?" Ve mengalunkan nama adiknya itu. "..Dek? Kamu denger Kakak?" Dia simpan tangannya dibahu Shania.
Shania bisa mendengar suara itu. Perlahan... dia mencoba membuka kedua matanya, untuk mengenali sipemilik suara.
"Apa yang kamu rasakan? Mana yang sakit?" Tanya Ve melihat wajah Shania menahan sakit.
Shania sudah bisa membuka matanya, tapi... hanya kegelapan yang dia lihat.
"Kakak panggilin dokter ya, Dek?"
"...Kenaaapa... geelapp?" Suara Shania begitu lemah.
Dia membuka-tutup matanya untuk mencoba kembali mendapatkan visualisasi. Namun hasilnya tetap sama! Gelap!!.
Ve yang mendengar jadi ketakutan sendiri.
"Sayang, kamu bisa dengar suara Kakak kan?" Tanya Ve, "Ini Kak Ve.. Kakak ada disamping kamu!" Shania mengikuti gema suara yang mengalun dari pita suara Ve.
"Kkkakak... Shaania.. dimanaaa Kak? Kenapaa.. Kenapaa disini gelap!"
Shania yang semula kesulitan menggerakan tangannya, mempekerjakan paksa, tangan kakunya itu untuk dia pakai meraba kedua matanya. Sangat jelas, tangannya yang sudah bisa menyentuh kelopak matanya, memberikan kabar bahwa dia sudah membuka kedua mata itu. Tapi, kenapa..? Dia tidak bisa melihat cahaya! Hanya warna hitam yang begitu pekat yang terlihat.
"Kkenapaa.. kenapa semua hitam?... Kakk, nyalain lampunya? Shania..., Kenapa gelap, disini begitu gelap!"
Ve membelalakan matanya, dia tahu ada yang tidak beres pada Shania. Rasa senang yang sempat meletup ketika tahu Shania siuman, jadi meredup saat dengan jelas Ve mendengar komplen darinya.
"Kakak ada disini, disamping kanan kamu, Dek! Kamu bisa lihat Kakak?" Ve mencoba menarik kembali perhatian Shania, dengan perasaan was-was.
"Shaniaa.. Arghhhh... Kepala akuuu sakitt!.." Shania merasakan kembali sakit dikepala bagian belakangnya.
Ve segera memanggil suster diluar, lewat tombol emergency di sebelah kepala Shania. Tidak lama suster datang, dan Ve langsung menyuruh Suster itu untuk memanggilkan dokter rawat Shania.
"Kenapa...? Baru sekarang Mama kasih tahu Beby Mah!?" Beby menitikan air matanya.
Mama yang akhirnya memantapkan hati untuk memberitahu Beby soal kondisi Shania, berakhir dengan kesedihan yang diperlihatkan Beby.
"Mama... Maaafin Mama sayang, Mama bingung, Mama gak tahu harus mengambil langkah apa? Mama terlalu takut kalau Mama akan kehilangan kamu!" Jawab Mama.
"Shania.. dia udah ngelakuin hal..., hal besar untuk Beby! Shania sama kayak Mama, takut kehilangan Beby. Tapi, bagaimana mungkin Mama menyimpan semua ini, dan malah menyuruh Beby untuk masuk keruang Operasi. Sementara, Shania sendiri? Dia sedang memperjuangkan hidupnya, Mah! Memperjuangkan kehidupannya, setelah dia memperjuangkan kehidupan Beby!" Mama tidak bisa berkata apapun, beliau hanya menunduk sambil menangis.
"Beby mau... arghhh--,"
Suaranya jadi desisan rasa sakit. Mama yang mendengar jadi takut.
"Beby..?"
"...Beby mau... hsss--, mau pergi nemuin.. ahwww--, Beby harus... nemuin... Shani...a..." Beby terjatuh tidak bisa lagi menopang tubuhnya yang kembali bereaksi dengan virus kanker. Mama membelalakan kedua matanya ketika melihat Beby ambruk. Dengan panik Mama mengguncang tubuh Beby. Tapi tidak ada respon, Mama berlari kearah bangsal untuk meraih tombol emergency.
"Apa yang bisa kita lakukan Dokter?"
Suara Ve begitu lemah, dia sungguh terkejut dengan apa yang dia dengar tentang kondisi Shania dari dokter rawatnya.
"Shania.. harus segera mendapatkan retina mata baru, untuk matanya yang sekarang!"
"Retina mata baru,... sssegera? Maksud Dokter?"
"Seperti yang sudah saya jelaskan diawal. Setelah melihat hasil scan mata bagian dalamnya Shania yang ternyata terluka. Lukanya sangatlah parah, pecahan kaca itu merobek retina mata Shania, hingga dia jadi mengalami kebutaan!"
Setelah senyum yang baru saja akan bisa Ve kembangkan ketika tahu Shania berhasil melewati komanya, kini senyum itu seketika kembali meredup.
"Apa yang terlihat dalam laporan, bisa dibilang cukup menghawatirkan dan mungkin akan jadi buruk untuk Shania."
"Jelaskanlah dengan bahasa yang lebih simple Dokter?" Protes Papa yang juga ada didalam ruang dokter.
"Kerusakan pada matanya, tidak bisa sembuh hanya dengan Operasi, Pak! Shania harus mendapat donor mata, untuk bisa mengembalikan penglihatannya. Transplantasi retina mata, itulah jalannya!!.. dan, dalam kasus Shania, ada beberapa hal baru yang kami temukan. Kerusakan pada matanya, harus segera ditangani, karena kalau tidak..." Papa, Mama dan Ve berharap cemas dengan apa yang akan diutarakan oleh dokter. "..Shania akan mengalami kebutaan permanen! Tanpa bisa disembuhkan lagi, sampai kapanpun!!".
Ve menundukan kepalanya, menangis membayangkan Shania. Pun dengan Papa dan Mama, mereka begitu sangat amat merasakan perasaan bersalah, ditengah kesedihannya.
Menyakitkan! Saat sebuah ujian, dihadapkan dalam kehidupan yang sedang dijalani. Hanya air mata yang jadi teman setia, berdiam diri menanti adanya keajaiban terselesaikannya ujian itu. Namun, apa dengan berdiam diri dan menunggu keajaiban itu? Ujian akan berakhir?! Seperti saat ingin melangkah. Tidak mungkin bisa kedua kaki melangkah jika hanya berdiam dan tidak melakukan pergerakan. Sama seperti halnya ujian hidup. Tidak mungkin bisa selesai sebuah ujian, jika kita hanya berdiam diri tanpa melakukan apapun.
*17th Chapter
Percikan api semakin terlihat jelas, bermain dengan angin siap membakar tumpahan bensin yang keluar dari tank belakang. Shania dan si supir taksi sudah tidak sadarkan diri. Mereka kini, tinggal menunggu pertolongan yang berpacu dengan waktu. Sementara itu, penumpang Rover yang isinya sama-sama dua orang, sudah lebih dulu dilarikan ke rumah sakit.
Tidak ada yang bisa melakukan apapun. Mereka yang melihat, hanya bisa melihat, memainkan peranan mereka sebagai penonton. Menyaksikan bagaimana skenario Tuhan untuk Shania dan si supir taksi.
Kursi roda itu masih bisa Ochi kuasai, dia menahan kursi roda dengan Beby yang masih kejang-kejang. Rasa takut dan bersalah memasuki hati Ochi yang tadi sempat dikuasai amarah, kala melihat apa yang terjadi pada Beby.
"Beeby? Lu... Kenapa? Beb- Beby...? Lu jangan bikin gue takut! Gue... Gue, minta maaf!" Sesalnya,
Ochi pindah posisi, dari belakang kedepan. Duduk dengan lututnya dia jadikan tumpuan. Kedua tangannya memegang tubuh Beby yang terus bereaksi dengan rasa sakit.
"Bebyyy?"
Mama dan Cindy sampai ditempat Beby dan Ochi.
"Sayang? Kamu denger Mama kan? Bertahanlah.. Lawanlah!!" Ucap Mama dalam isakan tangis ketakutan.
"Kamu! Apa yang sudah kamu lakukan sama Beby? Kenapa kamu masih mau berbuat jahat sama dia? Apa salah Beby sama kamu!!?" Kesal Cindy melihat wajah Ochi.
"Gue... Gue, ahhh! (Ochi terlihat bingung) Gue minta maaf, gue..,-"
"Sebaiknya.. kamu pergi dari sini! Jangan deketin lagi Beby!! Dia gak pernah ngusik kamu juga kan!?" Cindy memotong ucapan maaf Ochi.
Mama tidak menghiraukan mereka berdua, beliau lebih fokus pada Beby yang tadi kejang-kejang, sekarang sudah pingsan dengan darah segar masih terus mengalir dari hidungnya.
"Bertahanlah Nak! Mama tidak akan melepaskan kamu!!"
Mama membelakangi Beby, bermaksud untuk menggendong Beby dari belakang.
"..Cindy..?"
Cindy yang masih menatap benci pada Ochi, segera memalingkan pandangannya pada Mama yang sudah dalam posisi siap membopong Beby.
"Bantuin Tante, kita harus segera membawa Beby kerumah sakit!"
Cindy yang sadar pada apa yang akan dilakukan Mama, segera membantu dengan diiringi penawaran diri.
"Biar Cindy yang menggendong Beby, Tante!"
"Gak perlu, biar Tante... yang membawa Beby dengan tubuh Tante sendiri. Dengan kekuatan yang Tante miliki. Bantulah Tante, bantu Beby naik di punggung Tante!"
Cindy tidak mau memperdebatkan hal ini dengan Mama, dia segera membantu Mama untuk membuat Beby ada di punggungnya.
Beby sudah ada diatas punggung Mama, dia terkulai tak sadarkan diri, tubuhnya begitu terasa ringan untuk Mama. Dengan tangis yang coba Mama kendalikan agar tidak terus mendorong keluar dari muaranya, Mama didampingi Cindy berjalan perlahan, menuruni jalan yang menanjak.
Cindy yang tidak tahan melihat scene itu, segera mengeluarkan handphonenya. Dia baru ingat, kalau tadi.. dirinya masih tersambung dengan Shania. Tapi Cindy tidak terlalu ambil pusing soal Shania dan panggilannya yang sudah mati pada Shania. Cindy segera menelpon perusahaan taksi, dan meminta taksi yang bisa cepat sampai ke lokasi dia, Mama dan Beby berada.
"Halo...?"
"Halo selamat sore.. Apa benar? Ini dengan Nona Ve!?"
Suster tahu nama Ve dari panggilan yang Shania lakukan dengan Kakaknya itu.
"Iya betul, saya sendiri? Ada apa ya, Mbak?" Jawab Ve dengan akhiran tanya.
"Begini, Mbak! Apa... Mbak kenal dengan Shania Junianatha?" Suster memastikan.
Kedua mata Ve membesar saat seseorang yang tidak dia kenali itu menyebutkan nama Shania dalam tanya.
"Saya Kakaknya, ada apa ya? terus ini dengan siapa?" Lancar Ve menembaki si Suster yang akan mengabari dirinya tentang Shania.
Karena sebelumnya Shania meghubunginya dan menceritakan tentang jual mobil, Ve takut kalau yang sedang menelponnya itu yang sudah transaksi dengan Shania dan ada hal yang tidak mengenakan yang akan dia sampaikan tentang transaksi dengan Adik bungsunya itu.
"Saya dari Rumah sakit (pernafasan Ve terhenti, saat dia menangkap kata rumah sakit) Pelita Persahabatan, mau mengabarkan kalau adik Mbak yang bernama Shania Junianatha, baru saja mengalami kecelakaan lalu lintas, sekarang adik Mbak,..... ..... ..... ....."
Ve terlihat lemas, dia tidak bisa lagi menerima informasi dari suster yang ada di ujung telpon, yang tadi dia pikir rekan transaksinya Shania.
"Keee...celakaan?"
Ve mencoba kembali bersuara dengan ketakutan menyeruak dihatinya.
"Iya, Mbak. Saya meminta Mbak untuk bisa segera datang ke rumah sakit, yang beralamatkan di Jalan,....."
Kembali Ve tidak menangkap semua ucapan suster. Saat alamat itu sudah masuk di gendang telinganya, dengan segera Ve berlari menuju mobilnya, mematikan sambungan telpon dan mengingat jalan ketempat rumah sakit yang sudah disebutkan.
Perasaan kaget dan lemas yang dirasa disekujur tubuh, coba Ve lawan. Tapi ketakutan dari mendengar kata kecelakaan itu, tidak bisa dia singkirkan dari hatinya begitu saja.
"Kenapa jadi seperti ini? Kamu... kamu gak apa-apa kan, Dek? ... Ini hanya kecelakaan kecil kan!" Tangis Ve menuruni pipinya.
Tidak berani dia menggambarkan seburuk apa kecelakaan yang dialami Shania, hingga suster dari rumah sakit yang menelponnya. Pikirannya tetap dia tanami dengan... Shania hanya mengalami kecelakaan kecil, dan dia hanya kena luka gores, yang diobati sebentar pun sudah bisa dibawa pulang dari rumah sakit.
Ve mencoba menghubungkan dirinya dengan Shania. Dia menelpon ke nomor Shania. Tapi sayang.. yang menjawab bukan orang yang sedang dia cemaskan, melainkan operator provider. Hati Ve kembali berkecamuk.
"Kenapa telpon kamu mati? Jawablah... Kamu gak apa-apa kan, Shan? Jawablah..." Ve membekap mulutnya, menahan tangis. Matanya yang basah karena tangis dari ketakutan terus menyeret, tetap dia fokuskan pada jalanan yang dia lewati, agar dia bisa sampai pada tempat yang sudah dia ketahui letaknya.
"Tante!?"
Melody ngos-ngosan, berlari dari lobi rumah sakit hingga bisa sampai ditempat Mama, dan Cindy yang tadi memberikan kabar tentang Beby.
"Tante... Cindy...?.... gimana Beby?" tanyanya kemudian.
Mama hanya bisa menjawab Melody dengan gelengan pelan. Cindy memegang bahu Mamanya Beby. Melody melihat wajah Mama yang begitu dirundung kesedihan. Segera, Melody mendekati Mama dan memberikannya pelukan. Seperti anak kecil yang ketakutan, Mama menyambut pelukan Melody, menumpahkan kelelahannya, membagi kesabarannya, memberitahukan lewat tangis yang ia tahan, akan ketakutan yang memburu.
"Tante... Tante belum siap kalau harus kehilangan Beby, sekarang...!"
Melody hanya bisa mengunci mulutnya, merasakan rasa sesak Mama.
Masih ingat betul apa yang Mama lihat saat di dekat taman tadi. Bagaimana Beby bereaksi pada virus mematikan itu. Ketakutan terus menjadi senjata mematikan yang selalu memburu degup jantung Mama, kala melihat kesakitan menyerang tubuh Beby.
"Kenapa semua ini harus terjadi pada Tante? Kenapa Tuhan senang sekali melihat keluarga Tante seperti ini?!"
Melody yang tidak tahu harus mengatakan apa untuk menenangkan Mama, kembali hanya membisu, dengan mengeratkan pelukannya.
Cindy pun hanya bisa diam, lintasan liar, tentang apa yang dia lihat pada Beby dan ucapan Mamanya Beby, begitu terlihat menakutkan jika harus dia gambarkan.
Seseorang yang sedang menangis, tidak butuh banyak hal. Hanya butuh ditemani dan didengarkan. Membiarkan Mama mengeluarkan ketakutan dan kerapuhannya. Memberikan pelukan yang meskipun hanya bisa memberi sedikit rasa tenang, tapi setidaknya, Mama tahu.. Kalau masih ada yang bisa ia ajak berbagi saat rasa sakit itu sudah tidak tahu lagi harus diapakan.
Kini... kedua sahabat itu, sedang berjuang!
Mereka berjuang untuk kehidupannya. Menerima takdir yang sudah tertulis. Memperlihatkan pada sang penulis takdir, jika mereka masih ingin menikmati kehidupan yang telah dititipkan oleh-Nya.
Takdir, memang sudah menuliskan nasib mereka. Tidaklah bisa Shania dan Beby tahu buku yang sudah Tuhan tuliskan untuknya. Sebuah buku yang tercipta kala keduanya dititipkan dalam rahim seorang Ibu. Buku yang sudah tertulis Prolog, Cerita, Epilog, hingga Ending yang pasti. Sebuah buku yang berisi perjalanan mereka, dan kita yang hidup di dunia.
"Kondisinya kritis! Kepala bagian belakang mengalami pendarahan, tapi itu sudah bisa dihentikan. Perutnya yang tertusuk besi, masih mengeluarkan darah. Tensinya sangat rendah. Dan... detak jantungnya sangat lemah!" Ucap dokter pertama menjelaskan, pada dokter kedua. (Ceritanya mau pergantian shift!)
"Selain itu.. ada serpihan kaca yang masuk dalam matanya. Kita sudah bersihkan, tapi belum tahu pasti bagaimana kondisi matanya!" Lanjutnya membuat resume untuk kondisi Shania.
"Saranmu? Tindakan apa yang akan kita ambil untuk pasien kita ini!?" tanya dokter kedua.
Dokter pertama itu melihat pada dokter kedua yang masih membaca status dari Shania dalam board yang sudah berisi rekam medis pengecekan.
"Siapkan ruang Operasi!"
Dokter kedua yang sedang melihat report pun meghentikan laju matanya. Kemudian dia lihatkan pada dokter pertama.
"Kita tidak mungkin melakukan Operasi dengan status pasien seperti sekarang ini!"
Dokter kedua mulai berasumsi karena sudah tahu catatan yang dibuat suster pendamping saat pemeriksaan tadi.
"Anda tahu, kalau resikonya terlalu besar! Pasien bisa saja meninggal, kalau kita mengambil tindakan Operasi ini!!" Jelasnya.
"Dokter! Kita disini.. dokter pertama, yang harus membuat keputusan, akan diapakan pasien yang masuk keruangan ini!"
Dokter pertama yang sudah lelah bekerja dari hari kemarin dan belum mendapat pertukaran shift kerja, sedikit meninggikan suaranya.
"Kalau kita terlalu lama berpikir, bukan ruang Operasi yang akan membuat pasien meninggal. Tapi disini, diruangan ini!!"
Dokter kedua merasa malu, karena apa yang dikatan dokter pertama itu memang benar.
Sebagai dokter jaga di ruang UGD, ruang pertama yang didatangi pasien. Haruslah Dokter yang berjaga diruangan itu, segera bisa memutuskan tindakan yang akan diambil, untuk pasiennya.
"Berikan report itu pada dokter yang ada di ruang Operasi! Agar Operasi bisa cepat dilaksanakan!!" Suruhnya, dengan suara dia turunkan kembali. Dokter keduapun, tak banyak bicara, dia segera keruangan bagian Operasi.
"Suster! Hubungkan saya dengan keluarga pasien!!" Suster segera keluar ruangan.
Pergantian Shift yang harusnya sudah di dapat Dokter pertama, jadi batal. Dokter itu pun kini harus menjadi operator atau asisten dokter diruangan Operasi saat nanti Shania akan menjalani Operasi yang dia sarankan.
Ve tergesa, berlari sekuat tenaga mencapai rumah sakit dari tempat parkiran. Tiba di depan lobi, dia segera menghampiri Suster dan langsung membuat pertanyaan dengan suara takut dan gesture kekalutannya.
"Suster! Ehmm.. Korban kecelakaan lalulintas, yang baru masuk? Dimana?"
"Sebentar Mbak, kami cek dulu!"
Ve menunggu, belum ada hitungan detik dia menunggu, tapi rasanya begitu lama.
"...Suster! Dimana? ahhh!!" Kesalnya dalam kepanikan.
"Iya Mbak, seben..,- Ah ini.. Shania Junia,-"
"Iya itu!" Ve segera memotong ucapan Perawat.
"Pasien masih ditangani di Unit Gawat Darurat. Mbak jalan kedepan, nanti ada belokan pertama yang Mbak temui, dari sana Mbak ambil belokan sebelah kiri. Disana ruang UGD."
Tanpa mengucapkan terima kasih, Ve langsung bergegas kembali memacu kakinya untuk berlari.
Seorang Suster didepan ruangan UGD terlihat sedang berbicara dengan para Polisi Lalu Lintas yang tadi mengawal ambulance yang membawa Shania hingga sampai dirumah sakit.
"Permisi Suster, adik saya yang mengalami kecelakaan lalulintas. Apa dia masih ditangani di UGD?" Ve kembali bertanya. Dia sudah sampai di ruang UGD.
"Maksud Mbak? Yang kecelakaan dari taksi itu?"
"Iya!"
"..Dan, Mbak ini?"
"Saya Kakaknya! Adik saya dimana, Sust?"
"Ah! Mari Mbak, ikut saya!!" Perawat jaga itu segera menuntun Ve.
Dia tadi dapat pertanyaan dari Suster pendamping diruang UGD, tentang.. apakah keluarga Shania ada yang sudah datang. Karena Suster jaga itu bilang belum ada. Suster pun mengatakan kondisi Shania, kalau-kalau keluargnya sudah datang.
"Suster. Keluarga dari pasien kecelakaan lalulintas, yang bernama Shania Junianatha!"
Suster yang tadi sedang bicara dengan para Polisi, segera memalingkan wajahnya dan menatap Ve.
"Mbak... Keluarga dari pasien yang bernama Shania?" Ve mengangguk untuk menjawab.
"Kalau begitu... mari, ikut saya Mbak?"
Suster menuntun Ve hingga keduanya hilang dari koridor dan memasuki ruangan.
Dalam ruang UGD, Ve celingukan mencoba mencari sosok Shania. Tapi sayangnya, setajam apapun penglihatan Ve. Dia tidak akan bisa tahu dimana Shania berbaring, karena setiap ruang dalam ruangan ditutupi tirai penyekat.
"Dok? Keluarga Shania!" Suster menunjukan.
"Selamat sore, Mbak. Silahkan dud,-"
"Adik saya dimana Dok? Bagaimana kondisinya?" Ve tidak menyambut ucapan Dokter. Karena yang ingin dia tahu adalah dimana Shania? Bagaimana kondisinya? Karena saat didepan ruangan tadi, dia melihat ada beberapa petugas Kepolisian. Yang artinya.. Ini bukanlah kecelakaan lalulintas biasa saja.
"...Begini, Mbak.. silahkan duduk dulu. Biar kami jelaskan!" Ve menuruti apa yang dikatakan Dokter.
"...Adik Mbak, harus segera di Operasi (Nafasnya terasa berat, saat kata Operasi dia dengar langsung dari mulut Dokter) kami sekarang sedang mempersiapkan ruangan Operasi untuk pasien. Dan ini... Tandatanganilah surat persetujuan Operasinya, agar kami bisa secepatnya melakukan tindakan lanjutan terhadap Adik, Mbak!"
Dokter tidak menjelaskan kondisi Shania, dia langsung meminta Ve untuk menandatangani surat persetujuan Operasi.
"Operasi? Adik saya kenapa, Dok? Kenapa harus ada Operasi? Apa lukanya..,- Bagaimana mungkin..,- Apa yang sebenarnya terjadi!?"
Ve mencoba tenang, tapi kenyataanya tidak bisa. Dia begitu panik, takut, sedih, dan penasaran juga.
"Tenang, Mbak. Adik Mbak, memang harus secepatnya di Operasi, karena kondisinya saat ini begitu kritis. Sebuah besi menancap di perut bagian kirinya, kalau kami tidak segera mengeluarkan benda itu.. akibatnya bisa fatal untuk Adik Mbak. Dan...,-"
"Dokter, ruangan Operasi sudah siap! Pasien sudah siap mendapat tindakan!!"
Dokter kedua, yang tadi disuruh. Datang memotong percakapan Ve dengan Dokter pertama.
Dokter mengangguk untuk memberikan isyarat. Lalu kembali menghadapi Ve.
"Operasi ini... beresiko cukup tinggi untuk pasien. Tapi, tidak segera dilaksanakan Operasi pun, akan sama beresikonya bagi nyawa pasien! Ambilah keputusan itu. Putuskan.. Masuk ke ruang Operasi? Atau mendengarkan penjelasan saya, dan kita kehilangan beberapa menit yang mungkin akan berharga untuk adik, kamu!"
Suara Dokter itu.. berubah. Dia jadi sedikit menyejukan tapi tetap menusuk.
Ve berdiri dalam kebimbangan, tidak tahu betul bagaimana kondisi sebenarnya Shania, tapi harus membuat keputusan. Apalagi kata-kata yang diucapkan Dokter, membuat kebimbangan itu menjadi ketakutan dan... kekalutan.
"Mbak! Putuskanlah!!" Dokter kembali bicara.
Ve mengambil board yang sudah ada surat persetujuannya. Diam sebentar, lalu... dia membubuhkan tandatangannya. Menyetujui apa yang tertulis dalam selembar kertas yang entah apa isinya, karena tidak sempat Ve baca.
"Selamatkan adik saya, Dok! Saya mohon!!" Lirih ve, berharap pada Dokter itu.
"Berdoalah! Tuhan bersama kita!!" Jawab Dokter dengan masih sempat menyunggingkan sedikit senyum untuk Ve.
"Suster?!" Dokter memberikan isyarat.
Suster itu mengangguk, "Mari Mbak. Saya tunjukan ruang tunggu untuk ruangan Operasi!"
Ve yang wajahnya begitu kusut, hanya bisa mengangguk dan mengikuti suster.
Tidak pernah ada yang menginginkan keburukan menimpa kehidupan yang sedang dijalani. Setiap rencana indah yang kita tuliskan hingga melukiskan senyum bahagia, mungkin tidak akan berjalan selancar saat membuat tulisannya, tidak akan sebahagia saat di wajah itu terlukis sebuah senyum. Namun, jika kita maknai lebih dalam... Rencana indah yang tidak bisa terwujud itu, tidak lantas menjadi buruk. Langit tetaplah biru meski sinar mentari tak menerangi, dan awan putih yang berarak mendampingi, berubah menjadi awan grei yang muram. Masih banyak rencana, yang bisa dibuat. Masih banyak kesempatan yang akan datang. Asal kita percaya, kalau rencana Tuhan itu... Lebih indah dari apa yang kita rencanakan.
Mama hanya bisa memandangi wajah Beby. Kembali beberapa slang kecil dan beberapa kabel kecil berwarna itu dipasang ditubuh Beby. Memberitahukan secara kasat mata jika Beby, keadaannya sungguh sangat... menakutkan untuk dibicarakan.
Seperti yang Dokter bilang.. Kondisi Beby sudah benar-benar sangat mengkhawatirkan. Operasi yang pernah dibicarakan kala itu, harus segera dieksekusi. Tidak ada pilihan lain. Apalagi... waktu Operasi yang mendapat penundaan, ternyata mengalami penurunan perkiraan presentase dalam kesembuhannya. Harapan dalam Operasi yang semula 70:50, untuk kesembuhan. kini menjadi 20:80, untuk kesembuhannya. Karena virus yang sempat mendapat perlawanan dari antibiotik itu ternyata melakukan perlawanan balik dan menyerang sistim imun dalam tubuh Beby, begitu cepat, dan melakukan pembelahan juga penyerangan balik, hingga menyebar kebagian tubuh lainnya, lalu mengakibatkan kondisi Beby terus memburuk. Dan akhirnya seperti sekarang, pengambilan langkah terakhir dalam upaya menyembuhkan Beby pun, menjadi seperti.. menanti hembusan angin di musim kemarau. Kemungkinannya begitu kecil!
Dokter memang bukanlah Tuhan, mereka hanya mengatakan apa yang mereka ketahui berdasarkan hasil pengamatan, dari kemampuan yang mereka miliki. Sebuah kemampuan yang Tuhan titipkan pada setiap orang yang berbeda. Soal apa yang sebenar-benarnya akan terjadi... tetap! Hanya TUHAN yang tahu!!. Dan kita... hanya bisa berharap dan berpasrah pada hasil dari apa yang sudah kita lakukan.
Cindy dan Melody, ikut menyelami wajah tirus Beby, dengan pikirannya membuat pola sendiri, menggambarkan tentang Beby. Lama mereka hening didalam ruangan itu, hingga Melody mengusap lembut tangan Cindy, dan kemudian Melody memberi isyarat untuk Cindy ikut dengannya keluar.
"Kenapa jadi seperti ini..?"
Melody mencoba mencari tahu.
"..... ..... ...... ......" Cindy hanya diam.
"Apa yang sebenarnya sudah terjadi, Cindy?" Melody masih mencoba. "Shania... dia kemana? Kenapa Ibu tidak melihatnya?"
Cindy yang sebelumnya menunduk, mengangkat wajahnya pelan saat nama Shania dan keberadaannya dipertanyakan oleh Melody.
"Cindy..?"
Cindy yang sedang menebak dimana Shania, kaget saat mendengar Melody memanggalinya, hingga refleks jadi menatap Melody.
"ehmm... itu... ini... InisemuasalahnyaOchiBu..!" dalam satu tarikan nafas setelah sebelumnya terbata, Cindy menuduh Ochi lah penyebab kritisnya lagi Beby.
"Ochi?"
"Iya, Bu! Ochi!! Dia..."
Cindy memainkan kembali gambaran saat dia melihat Ochi dan Beby yang berdiri di pinggir jalan yang menanjak, dekat taman. Lalu dengan bersih dan begitu detail, Cindy menceritakan semuanya pada Melody. Termasuk Shania yang juga tahu tentang kejadian itu.
"Sudahlah! Kita tidak perlu bahas ini dulu (Maksudnya Ochi), dan soal Shania... Dia tahu, dan jelas-jelas tadi kamu dengar kalau Shania meminta letak taman, dimana Beby dan Ochi berada, kemudian menyusul. Tapi, kenapa sekarang Shania belum kelihatan disini!!? Apa kamu tidak memberi tahu dia, kalau Beby dibawa kerumah sakit?!"
Heran Melody, dia tahu bagaimana Shania. Apalagi mendengar alur cerita yang Cindy dongengkan. Tidaklah mungkin Shania tidak mau melihat Beby.
"Tadi, sebelum Cindy menelpon Ibu. Cindy telpon dulu Shania untuk ngasih dia kabar. Tapi,... HP nya mati, Bu! Gak tahu kenapa, jadi tiba-tiba gak bisa dihubungi!!"
Jelas Cindy mencoba menjawab keheranan Melody. Bukannya keheranan itu terjawab, malah semakin menjadi. Melody sekarang malah membuat karangan, dalam menebak kalau-kalau Shania sedang mendatangi Ochi dan marah-marah padanya.
"Sudah telpon Kak Ve?"
Melody kembali bertanya. Dia masih ingat, pada apa yang diucapkan Ve saat mereka ada dirumah Beby. Intinya, Ve ingin... kalau ada apapun tentang Beby, dan Melody mengetahuinya. Melody bisa memberikannya kabar.
Cindy menggeleng, "Cindy... gak tahu nomor HP nya Kak Ve, Bu!" katanya setelah menggeleng.
"Ya sudah, emm.. kamu, sebaiknya pulang. Istirahatlah. Besok harus sekolah juga kan?" Melody begitu lembut dan perhatian.
"Enggak, Bu! Cindy mau disini. Cindy mau nemenin Beby, sampai dia sadar!" Tolak Cindy.
"Cindy. Dengerin Ibu?... Kalau kamu, memaksa tubuh kamu yang sudah lelah ini bekerja lebih lagi. Nanti kamu bisa sakit, dan akhirnya.. kamu tidak akan bisa menemani Beby karena kamu sakit! Apa kamu mau? Seperti itu!"
"Tapi, Bu? Cindy gak apa-apa Kok! Besok Cindy akan tetap sekolah, dan.. Cindy juga gak akan sakit, Cindy janji!!"
"Ibu tahu itu! Kamu mungkin gak akan sakit, sekarang. Tapi nantinya? Kamu gak tahu kan?" Cindy diam, "Ibu.. akan memberi kamu kabar, kalau ada apa-apa, atau ada perkembangan apapun tentang Beby! Ibu janji!!"
Cindy yang sadar tidak akan mungkin menang dari gurunya itu, akhirnya menyerah dan pulang, setelah sebelumnya berpamitan pada Mama.
"Makasih ya sayang, udah mau bantuin Tante!"
Cindy membalas ucapan Mama dengan senyuman.
"Beby... pasti baik-baik aja Tante! :'-) Tante yang kuat ya?! Cindy akan selalu bantuin Tante, sama Beby!"
Sebelum meninggalkan ruang rawat, Cindy memberikan semangatnya untuk Mama. Mama memeluk Cindy begitu erat, dengan memberikan kecupan diatas kepala Cindy, Mama melepas pelukannya dan mengucapkan kembali kata terima kasih.
Ve duduk dengan begitu gelisah. Pikirannya sedang keruh. Tidak bisa dia berpikir tentang apapun! Hingga getaran dari telpon yang berderingpun tidak dia hiraukan (yang menelpon Melody). Yang bermain dipikirannya sekarang hanya tentang Shania.. Shania.. dan Shania.... Shania si Adik satu-satunya yang sangat dia sayangi, yang sekarang sedang memperjuangkan kehidupannya diatas bangsal didalam ruangan Operasi.
Sesekali, Ve melihat lampu diatas pintu ruangan Operasi. Berharap lampu itu segera berganti dengan warna hijau, penanda kalau Operasi sudah selesai.
Hari ini... Benar-benar seperti mimpi buruk untuk Ve. beberapa jam sebelumnya dia masih bisa bercengkrama lewat telpon dengan Shania. Tapi beberapa jam setelahnya, seperti.. seperti kilatan petir yang menyambar di tengah teriknya matahari, saat seseorang mengabarkan kalau Shania mengalami kecelakaan.
Ve masih bisa mengingat saat dirinya dan Shania berbincang lewat telpon. Apalagi bagian terakhir diperbincangannya. Suara manja Shania, ucapan Shania yang mengatakan ingin dipeluk, terasa begitu dekat, namun merasa akan jauh.
'Itukah pertanda yang Tuhan berikan? Dia memberi tahu, tapi aku tidak peka!' Sesal Ve dalam penantiannya.
8 Jam! Operasi itu.. akhirnya selesai juga. Jam dinding sudah menunjukan hampir tengah malam. Lampu merah sudah berganti jadi hijau. Seorang Dokter keluar dari ruangan itu. Dokter yang berbeda dari Dokter yang meminta Ve untuk menandatangani surat persetujuan. Tapi siapapun itu, Ve tidak perduli. Yang dia tahu, Dokter itu keluar dari ruang tempat dimana Shania tadi dimasukan.
"Bagaimana Adik saya, Dok?" Tanya Ve segera.
"...Operasinya sudah selesai, dan berjalan lancar." Sedikit, Ve merasakan kelegaan di hatinya.
"Tapi,-" Kelegaannya seketika tersapu dengan satu kata yang akan melahirkan banyak kata lainnya.
"Tapi apa Dokter?"
"Kondisi pasien masih belum stabil! Saat diruang Operasi, dia sempat kehilangan banyak darah, dan kembali mengalami pendarahan ringan dikepala bagian belakangnya."
Ve merasakan sakit saat mendengar ucapan itu. Membayangkan bagaimana perjuangan Shania. Dia hanya bisa menahan tangisnya agar tidak pecah.
"Meski semua akhirnya bisa Pasien lewati. Namun demikian, apapun kondisi terburuk yang pasien alami saat diruang operasi dan akhirnya bisa diselesaikan. Hasil akhir tetap pada kondisi pasca Operasi!"
"Maksud Dokter? Jelaskanlah dengan bahasa yang bisa saya mengerti Dok!" Pinta Ve dalam kelelahannya.
"Kondisi pasca Operasi itu.. kondisi dimana pasien bisa kembali merespon, meski dengan respon kecil seperti menggerakan jemari, atau menggumam saat kami mengeluarkan suara dan bertanya." Ve mengerung sedih, "Dan itu... ada batas waktunya! Seperti dalam kasus Adik Mbak saat ini. Jika dalam waktu 48jam, dia tidak memberikan respon ataupun reaksi, penanda kalau dia sudah bisa melewati masa pasca Operasi. Maka dia dinyatakan Koma. Dan mungkin... waktunya untuk hidup, akan menipis!!"
Penjelasan Dokter membuat Ve meraskan kelemasan dan ketakutan bukan main. Dia merasa sedang dilempar dari ketinggian paling tinggi, hingga membuat dadanya terasa senyap.
"... Apa yang bisa kita lakukan Dok..ter? Lakukanlah sesuatu untuk Adik saya! Jangan... Jangan biarkan dia..., Jangan biarkan saya kehilangan dia, Dokt..er!? Saya tidak mau kehilangan Adik saya!!" Ve menangis kesakitan.
Dokter memegang pundak Ve. "Berdoalah! Mintalah harapan itu pada Tuhan!! Dia akan selalu mendengar ucapan dalam doa setiap umatnya. Percayalah apa yang sekarang terjadi, adalah yang terbaik untuk Kamu, dan adik kamu!."...
Dokter meninggalkan Ve sendiri diruang tunggu.
Sepeninggal Dokter, Ve berjalan dari ruang tunggu. Dia menuju Ruang ICU tempat dimana Shania kini berbaring. Setelah kabar yang seperti kilatan itu dia terima dan semua berjalan terasa begitu lamban namun ternyata cepat. Ve baru bisa sekarang melihat Shania dengan mata kepalanya sendiri. Dia mendekati kaca dan melihat lebih dekat raga Shania. Air matanya mengalir deras, ketakutan menyelimuti Ve saat ini. Apa yang dilihatnya... sesuatu yang mengerikan, tidak pernah dia membayangkan ataupun membiarkan pikirannya dilintasi hal seperti yang sekarang dia lihat. Menyaksikan Shania dari balik sebuah kaca, Shania yang terbujur tak berdaya, dengan luka yang jelas terlihat dan luka yang tak terlihat.
'Apanya yang terbaik? Apa... air mata dan kesakitan itu.. yang terbaik yang bisa Tuhan kasih buat aku sama Shania?' Matanya dia pakukan nanar kearah Shania.
'Bangunlah, Dek! Kakak butuh kamu!!' Air matanya semakin tak terbendung, Ve membekap mulutnya sendiri.
Semilir angin tengah malam diluar gedung rumah sakit. Seakan terasa masuk dilorong itu, dan membuat tubuh Ve menggigil kedinginan.
'Kamu... mau bantuin Beby kan? Bangunlah... Kak Ve mohon!!' :'-(
---
Ve yang sebentar, sangat sebentar bisa memejamkan matanya diruang tunggu ICU. Kembali berjalan lemas kearah kaca, dimana dia bisa melihat Shania. Harapan itu.. masih ada dalam diri Ve. Tapi, dalam hitungan beberapa jam kedepan, mungkin Ve akan kehilangan harapannya, jika apa yang dituliskan untuk Shania, tidak seperti apa yang dia angankan.! Shania bisa melewati masa kritisnya, dan kembali bisa membuka kedua matanya, tanpa harus ada dalam kondisi Koma!.
Tidak ada sekelabatpun pemikiran yang melintas dalam kepalanya, untuk Ve menghubungi Papa dan Mama, dan memberitahukan tentang Shania. Apa yang sudah Ve ketahui tentang kelakuan kedua orangtuanya, sudah cukup untuk Ve jadikan alasan tidak melibatkan mereka dalam kondisi Shania yang jauh dari kata stabil.
Cindy masuk kesekolah, dia terlihat tidak bersemangat sama sekali. Yang dia pikirkan hanya Beby dan kondisinya. Seolah pijakan itu tak terpijak, berjalan diatas kaki sendiri, tapi merasa tidak berjalan.
Apa yang bisa aku lakukan buat Beby? Uang sebanyak itu.. untuk biaya Operasi itu... darimana aku punya uang sebanyak itu? Pikiran Cindy diam-diam menanyakan
"Cindy?"
Langkahnya dia hentikan, karena mendengar seseorang memanggilnya. Lalu Cindy mengerung benci saat tahu siapa yang sudah memanggilnya.
"Ada apa?" Dinginnya Cindy menanggapi.
"Gue.. gue pengen tahu gimana keadaan Beby?" Tanya Ochi kemudian
"Gak usah pura-pura perhatian! Apa kamu masih belum puas, melihat Beby sekarang terbaring lagi di rumah sakit!?"
Cindy tidak lagi takut saat berhadapan dengan Ochi, yang bisa saja malah Ochi menyerang balik.
"Gue beneran tanya, karena gue.. gue merasa bersalah sama dia!"
"Kalau perasaan bersalah kamu itu masih berguna, kamu sebaiknya datang ke rumah sakit, dan bicara langsung! Gak perlu kamu utarain di depan aku, karena buat aku itu gak akan ada gunanya!!"
Cindy bergegas meninggalkan Ochi, setelah ucapannya yang dingin.
Ochi yang ditinggal hanya bisa diam terpaku ditempat semula, sembari melihat hilangnya punggung Cindy dari pandangannya.
"Gue emang bodoh! Harusnya... gue kenali dulu Beby. Harusnya... gue gak ambil tindakan konyol karena dorongan emosi itu. Harusnya... Arghh!! Bego!!!"
Ochi memaki dirinya sendiri dalam balutan perasaan bersalahnya untuk Beby.
Kembali meneruskan langkahnya, dengan rasa benci masih dia sisakan pada Ochi. Cindy, tiba-tiba jadi kepikiran Shania.
Apa Shania sudah tahu kalau Beby masuk rumah sakit lagi? Kalau belum, Shania kemana? Dia kemarin bilang akan datang. Tapi, sedikitpun tak terlihat penampakannya.
"Gaby!?"
Cindy melihat Gaby yang sedang berada diluar kelas.
"Cindy? Ada apa?" Tanya Gaby, dengan senyum hangatnya.
"Shania ada dikelas gak?"
"Shania? (Gaby menggeleng), Gue belum lihat dia pagi ini! Emangnya ada apa, Cind?" Tanya Gaby penasaran.
"Heeemm.. aneh ya? Jam segini, Shania belum kelihatan di sekolah?"
Gaby menggerakan kedua bahunya, menanggapi Cindy, "Mungkin dia gak akan masuk! Emangnya ada apa sih, muka lu kayaknya serius banget!?" Kembali Gaby bertanya.
"...(Cindy hanya menggelengkan kepalanya pelan)"
"Pastii... ada hubungannya sama Beby ya?"
Gaby mencoba menebak,
Cindy tidak menjawab ataupun memberi isyarat jawaban. Dia hanya menatap Gaby.
"Beby kenapa... Cindy? Dia baik-baik aja kan?" Gaby mulai cemas.
Cindy menghela nafas, begitu dalam.
"Nanti... kalau Shania masuk. Aku minta tolong sama kamu buat sampein kalo Beby ada di rumah sakit Harapan! Bolehkan, Gaby?"
Pertanyaan heran Gaby, tidak Cindy urai, dia hanya menitipkan sebaris kalimat untuk Shania.
"Ehm.. Kenapa lu gak telpon aja, Shania nya?" Saran Gaby, dalam rasa iba setelah mendengar ucapan Cindy.
"HPnya gak bisa dihubungin dari kemarin sore. Ya udah, aku ke kelas dulu, Makasih ya Gaby!!"
Cindy berjalan menuju kelasnya, menyeret lagi kakinya yang berat dilangkahkan.
"Ma...maa..." Suara Beby terdengar sangat lemah.
"Sayang? Kamu udah bangun! Mama panggilin dulu Dokter, ya?" Mama bersiap berdiri. Sambil menyeka air disudut matanya.
"Hsss... Jaa..ngan. Beby... mau sama Ma..ma!"
Mama yang sudah siap pergi, jadi kembali duduk.
"...Ini... Beby dimana, Ma?"
Beby memainkan matanya, menyambangi setiap sudut ruangan. Setelah dia berhasil menahan Mama pergi dari sampingnya.
"...Kamu, kamu dirumah sakit, sayang!"
"Rumah sakit?!"
Beby menyuruh memory dalam otaknya untuk memainkan kejadian sebelum dia akhirnya masuk rumah sakit.
Mama mengusap lembut wajah Beby, kini.. ada sedikit senyum menghias di bibir Mama yang akhirnya bisa melihat Beby siuman. Setelah dari kemarin sore dia hanya terbaring dengan memejamkan matanya.
"Ochi..?" Beby menyebutkan nama itu.
Mama membuat kerungan, "Ochi?"
"Iya, Ochi dimana Ma? Dia gimana?"
"Sayang! Kenapa kamu harus menanyakan anak itu!? Dia.. yang kemarin mengajak kamu ke taman dijalan itu kan?" Ucapan Mama terdengar tidak suka.
"Ochi.. dia kemarin ngajak Beby buat jalan-jalan Mah!"
Beby mencoba membuat alasan.
"Kamu, jangan selalu menutupi kesalahan orang lain, dan membiarkan diri kamu sendiri yang jadi korbannya, sayang! Kamu gak bisa seperti itu terus!!" Kata Mama yang sudah mendengar asumsi dari Cindy.
"...Beby gak pernah nutupin kesalahan siapapun, Mah! Ochi... dia kemarin emang ngajak Beby keluar. Dia cuma mau berbagi ceritanya, Mah! Dia gak ngelakuin apapun kok!!" Ujar Beby yang bisa tahu kekhawatiran sekaligus ketidak sukaan Mama saat Beby mengatakan 'Ochi'.
"Ya sudah, kita gak perlu bahas itu!... Kamu gimana? Kepala kamu sakit, gak sayang?" Mama mengalihkan topik pembicaraan.
Beby menggeleng, "Beby gak apa-apa. Maaf ya Mah, Beby selalu bikin Mama khawatir dan begitu mencemaskan Beby!!"
"Tidak akan ada seorangpun Ibu, yang tidak pernah tidak mencemaskan anak-anaknya. Sekalipun buah hatinya itu dalam keadaan sehat! :'-). Jadi.. kamu gak perlu meminta maaf sama Mama!"
Beby tersenyum, "Makasih Mah! Beby sayanggg banget sama Mama!!".
"Kalau kamu sayang sama Mama. Kamu harus sembuh, kamu harus melawan rasa sakit kamu itu! Ya?"
"Beby akan selalu memberikan yang terbaik yang Beby bisa, Mah! Beby janji :'-)" Ucapan dari bibir itu, diiringi rasa ciut yang tidak bisa Beby pungkiri.
Dia sangat tahu bagaimana keadaan tubuhnya sendiri. Dalam kondisi seperti sekarang, entah apa hal terbaik yang bisa Beby lakukan untuk bertahan dan memberikan senyum di sudut bibir Mama, yang wajahnya begitu terlihat lelah dan sedih.
"Eh ya, Mah! Shania... dia dimana?"
"Shania... dia mungkin masih di sekolah! Cindy aja belum dateng kan?" Jawab Mama.
"Sekolah? Hmmm.. Beby... jadi kangen sama sekolah Mah!.. kira-kira... Bisa gak ya? Beby masuk sekolah lagi?"
Hati Mama terasa sakit saat mendengar harapan Beby. Tapi beliau coba paksakan tersenyum dan menjawab dengan memberikan semangatnya.
"Pasti bisa Kamu kan... Anak Mama yang kuat!".
Beby kembali mengembangkan senyum mendengar ucapan Mama.
Malam menjelang, waktu itu... waktu yang Dokter bilang tentang kondisi Shania pasca operasi. Ternyata tidak berhasil Shania lewati. Dia dinyatakan dalam kondisi koma. Kondisi yang entah akan sampai berapa lama Shania hadapi. Satu jam? Satu hari? Satu minggu? Satu bulan? Entahlah, tidak ada yang tahu. Seperti yang dokter bilang...
'Tidak ada yang bisa memprediksi waktu sadarnya seseorang yang telah di vonis dalam keadaan koma.'
Ve duduk disebelah Shania. Memegang lembut tangan berkulit putih yang kini memucat dan terasa dingin. Meskipun heater didalam ruangan berfungsi. Dia belum bisa mengeluarkan suaranya, yang Ve lakukan hanya duduk dan memperhatikan wajah Shania yang sedang tertidur, tidur panjang.. yang entah kapan akan bangunnya!
Apa yang harus dia ucapkan didepan raga Shania yang dalam kondisi Mati tidak, hidup pun enggak. Apa yang hari ini Ve dapat, sungguh membuat hatinya bercampur segala rasa, hingga bibirnya tidak bisa merangkai kata jadi kalimat.
Ingatannya memutar ke waktu saat dirinya sedang menunggu Shania, diluar ruang ICU pagi tadi. Ve dihampiri petugas kepolisian lalulintas yang menangani kejadian yang menimpa Shania dan si supir taksi naas, yang telah meninggal siang tadi, karena lukanya sangat parah.
Petugas memperlihatkan barang-barang milik Shania, Ve ditawari untuk membawa barang itu, atau dia biarkan saja para petugas membawanya. Selain itu, Ve juga diberitahu tentang pengendara rover yang sudah menabrak taksi. Mereka yang juga mendapat perawatan dirumah sakit yang sama, yang sempat masuk UGD, tapi kini sudah dipindah keruang rawat biasa.
Saat melihat si pengendara Rover dari luar ruang rawatnya, Ve begitu sangat amat terkejut. Wajah itu... Wajah yang tidak asing untuk Ve. Seorang pria yang pernah dia lihat bersama Mama nya di sebuah apartemen. Kontan, saat Ve mengenali wajah si pengendara SUV. Dia bertanya pada petugas 'Apa pria itu bersama seseorang saat mobilnya menabrak taksi yang sedang ditumpangi Adiknya?'. Petugas menjawab 'ya' dan kemudian mengantarkan Ve keruangan disebelahnya, tempat teman semobil si pria. Wajah terkejut Ve, bertambah menjadi wajah marah-semarah-marahnya. Dia melihat Mamanya yang ada diruang rawat itu. Menggambarkan bagaimana SUV yang dikendarai pria itu dengan Mama duduk disebelahnya, menghantam taksi yang didalamnya sedang dinaiki Shania!. Ve tidak masuk kedalam kamar rawat Mama, dia kembali keruang tunggu ICU. Terduduk sendirian, dengan tangis dan kesedihan jadi teman setia.
"Maafin Kakak! Kamu denger suara Kakak kan? Kamu harus bangun, Dek! Kamu... gak akan ninggalin Kakak sendirian kan?" Ucapan Ve bercampur dengan air matanya.
"Kakak... tidak mungkin menghadapi semua ini sendirian! (Menghadapi Mama dan Papa dan kondisi kacau di keluarganya!) Temani Kak Ve. Kakak butuh kamu, Sha..nia... "
Ve menunduk, mencium tangan adiknya. Lalu dia simpan tangan yang terlilit slang dengan jarum yang membentuk sebuah infus itu ke pipinya. Mencoba menghangatkan tangan dinginnya Shania.
Kejadian yang terasa begitu cepat, dialami. Kini hanya menyisakan rasa takut, dalam selimut tanya pada Tuhan.
'Kenapa harus seperti ini, jalan hidup yang Dia berikan untuknya dan Shania?'
Tapi, sebanyak apapun tanya yang melintas liar mendiami pikiran. Hingga kadang berujung tuduhan pada Tuhan tentang ketidakadilan hidup yang Dia berikan. Tidak akan menghasilkan apapun, kecuali rasa sakit yang semakin membuat sesak.
Pasrahkan semuanya pada Tuhan, tapi jangan menyerah. Karena pasrah tidak berarti menyerah.
Menyerahkan rasa sakit itu untuk bisa Tuhan obati, setelah pengobatan yang dilakukan sendiri tidak membuahkan hasil. Menyerahkan kondisi yang dalam kekacauan pada Tuhan untuk bisa dibenahi, setelah upaya yang dilakukan sendiri tidak menghasilkan apapun. Pasrah... setelah semua upaya kita tempuh, bukan Pasrah.. tanpa ada upaya dan hanya mengangkat tangan menyerah pada semuanya.
Sore ini, rencananya Ve akan pergi menemui Mama, dan Beby yang dirawat di rumah sakit Harapan. Setelah kemarin dia mendengar dari Si Mbok, kalau ada guru dan teman-temannya yang mencari Shania.
Selain ingin memberi tahu soal kondisi Shania, Ve juga ingin memberikan uang hasil penjualan mobil yang Shania lakukan sebelum kecelakaan itu mendahului Shania untuk bisa menyampaikan kabar gembira pada Beby, kalau dia bisa di Operasi. Ve juga sudah membaca pesan dari Melody, kalau kondisi Beby terus memburuk, dan harus segera di Operasi.
Pagi harinya, setelah menemui Shania. Ve langsung menemui Teller-teller di Bank, untuk mengambil tabungan milik Shania yang sudah Shania beritahukan lewat pesan singkat sesaat setelah Shania dan Ve berbincang melalui Line telpon. Memberitahukan segala kebutuhan kalau-kalau dia tidak bisa mengambil uang itu. (Pertanda lain, tentang Shania yang akhirnya mengalami kecelakaan!).
"Cindy.. Kak Melody..."
Beby menyambut hangat kedatangan mereka keruangannya.
"Haii..., gimana hari ini? enakan?!"
Melody yang pertama menyapa.
Beby mengangguk, "Semakin baik, Kak." diikuti jawaban palsu. Beby bilang badannya semakin baik, padahal dia sama sekali tidak sedang baik. Dan yang ada didalam ruangannya kini, tahu persis akan hal itu.
"Cindy?" Beby mengalihkan pandangannya pada Cindy.
"Ya?" Jawab Cindy.
"..Shania mana? Kok dia gak kesini? Udah 4 hari, selama aku disini. Shania gak ada kesini juga!"
Pertanyaan dari Beby membuat Cindy menelan ludahnya sendiri. Tidak tahu harus memberikan jawaban apa.
Cindy melihat kearah Melody dan Mama Beby. Seolah meminta tolong pada mereka tentang jawaban apa yang harus Cindy ucapkan di depan Beby tentang Shania. Shania yang, sedang dalam kondisi koma, tapi yang ada di dalam ruangan itu belum ada yang tahu.
"..Shania lagi,.. (Melody berhenti sejenak).. Dia lagi ke Jogja, nemuin dulu Kakek sama Neneknya!" Ucap Melody.
"Ke Jogja? Emangnya Kakek sama Neneknya kenapa Kak? Apa mereka sakit?" Beby tidak langsung diam menerima apa yang dikatan Melody.
Terpaksa, Melody yang sebenarnya belum tahu Shania ada dimana, dan Kakaknya juga yang tidak bisa dihubungi, kembali membuat kebohongan dari kebohongan yang sudah dia buat.
"(Melody mengangguk), Itu yang dibilang sama pembantunya waktu Ibu, Cindy sama Gaby juga Noella ke rumahnya Shania."
Akhirnya, Beby bisa diam setelah apa yang diutarakan Melody.
Sementara Mama dan Cindy didalam ruangan menemani Beby. Melody malah diam diluar ruangan. Ve yang baru datang, bisa melihat didepan ruang rawat Beby ada Melody yang sedang duduk sendirian. Setelah menanyakan dibagian depan, dimana ruang tempat Beby dirawat, Ve akhirnya sampai juga di lorong ruangan yang hanya ada beberapa orang diam diluar ruangan, menunggui keluarganya, seperti yang Melody lakukan.
Sampai didepan Melody, Ve tidak bicara. hingga Melody yang menyadari adanya seseorang yang sedang berdiri didepannya, mengangkat wajahnya.
"Ve...!" Suara Melody begitu halus.
Dia seketika berdiri dari duduknya.
"Akhirnya... Kamu kesini juga! Kamu sama Shania? Beby nanyain Shania sama Kamu terus tuh!" Lega Melody saat melihat Ve, dia kemudian bertanya.
Ve kembali merasakan sakit saat mendengar nama Shania disebutkan. Dia menitikan lagi air matanya. Melody jadi kaget saat melihat Ve menangis.
"Kamu kenapa? Ayo sini duduk dulu!" Kata Melody, dengan menuntun Ve untuk duduk.
Ve masih diam, dan Melody.. hanya bisa ikut diam dengan pikirannya entah memikirkan apa, kala bisa melihat lebih dekat dan jelas wajah Ve. Wajah yang kusut, lusuh, sedih, sakit, sebuah lukisan diwajah Ve yang belum pernah Melody lihat sebelumnya.
Beberapa menit lamanya Ve mencoba melawan tangis yang terus keluar dari muaranya. Hingga akhirnya dengan perlawanan pada air matanya sendiri, Ve bisa menghentikan tangis takut itu. Dia menghirup udara begitu dalam agar bisa memenuhi rongga parunya yang sesak karena tangis.
"Beby,.. dia gimana Bu?" Tanyanya Formal pada Melody.
"Gak usah panggil Ibu, panggil aja Kak Melody!" Jawabnya tidak ingin dipanggil Ibu, lalu menjawab lagi pertanyaan Ve.
"Beby... seperti yang sudah Kak Melody bilang dalam SMS, sama Chat. Kondisinya terus menurun, dan dia.. harus sesegera mungkin di Operasi! Meski presentase kesembuhannya, semakin menipis dari yang sebelum-sebelumnya, tapi Dokter bilang, kalau bisa di coba, kenapa tidak dilakukan!?"
Ve mencerna ucapan dari Melody. Dia sangat merasa kasihan pada Beby.
"Kalau begitu... lakukanlah Operasi itu Kak! Sebelum semua menjadi semakin terlambat!!" Usul Ve.
"Itu yang mau kita semua lakukan Ve, tapi..,-"
"Soal biayanya,.." Ve memotong ucapan Melody, dia mengedepankan tasnya, dia buka lalu mengambil sesuatu. "Ada titipan dari Shania, untuk Beby!" Ve memberikan amplop Coklat Muda ke depan Melody.
"Apa ini, Ve..?" Melody mengambil amplopnya.
Bola matanya melebar, saat bisa melihat apa yang ada didalam amplop itu.
"Ini... Ini semua.. dari Shania?" Ve mengangguk. "Tapi? Dari... Darimana dia bisa dapetin uang sebanyak ini? terus sekarang Shanianya dimana?" Melody heran, tapi juga ada rasa senang dalam hatinya,
"Beby pasti akan senang dapat kabar gembira ini, apalagi.. yang membantunya Shania! Iya kan?"
Ve mencoba memberikan senyumnya, mendengar rasa senang Melody.
Mama dan Cindy masih diam diruangan menunggui Beby. Belum ada yang tahu kalau Ve datang kerumah sakit.
"Jadi? Shanianya sekarang dimana? Biar Kak Melody bisa langsung kasih tahu Beby dan juga Tante Ana, kalau Beby bisa di Operasi! Dan biar Shania, bisa lihat sendiri proses Operasi. Mendampingi Beby melewati semuanya!!"
Melody kembali menanyakan keberadaan Shania, dengan diikuti harapan dalam kegembiraannya.
".. Shania... Dia gak bisa dampingin Beby masuk ruang Operasi. Dia juga belum bisa menjenguk Beby, Kak!"
Suara Ve jadi serak, dia kembali berjuang melawan tangisnya agar tidak pecah.
"Kenapa? Ada apa Ve?"
Melody akhirnya bisa merasakan sesuatu yang tidak beres, saat mendengar Ve bicara.
Ve kesulitan mengeluarkan suaranya, dia menunduk... lalu menangis dengan dia bekapkan tangan kanan ke mulutnya sendiri, agar suara tangisnya tidak terdengar.
"Heyy.. Kamu kenapa? Ada apa sebenarnya? Ve?!"
Melody mendekat dan memegang tangan kiri Ve yang bebas. Dengan tangan kanannya, dan tangan kirinya dia usapkan ke bahu Ve.
"...Shania.. Dia... Dia mengalami kecelakaan Kak!..."
Melody baru bisa mengangakan mulutnya saat mendengar suara Ve yang bercampur dengan tangis.
"Shania koma, dan... Aku gak tahu, kapan dia akan bangun...!"
Dengan perasaan percaya-tidak percaya mendengar kata kecelakaan dan koma yang melibatkan Shania, Melody segera memeluk Ve yang masih menangis.
"Dia yang... harusnya memberikan uang itu sama Beby...," Ve terisak, Melody kini ikut menangis menitikan air matanya.
"Semuanya.... gak seharusnya seperti sekarang... kalau saja... kalau saja waktu itu, Aku menjemput Shania... Aku yang salah... Aku gak bisa jaga Shania, Kak! Aku yang udah bikin Shania seperti itu... Aku... Aku takut kalau,-"
"Sssuutt, udah Ve. Jangan nyalahin diri kamu seperti ini! Tabahlah!!" Melody mengelus punggung Ve, untuk memberikannya ketenangan.
Lama, cukup lama Ve dalam dekapan Melody, menumpahkan rasa sesak didadanya. Hingga dia melepaskan pelukan Melody dari tubuhnya. Dan kembali bicara.
"Lakukan.. segera Operasi untuk Beby, Kak!"
Ve menyeka air matanya. "Karena itu yang Shania mau.. Melihat Beby sembuh dari penyakit Kankernya!"
Melody menggelengkan kepalanya. "Kalaupun, Operasi itu akan dilakukan. Maka, bukan Kak Melody yang akan menyerahkan uang ini sama Beby juga Tante. Tapi, Shania! Dialah yang harus memberikan uangnya!!" Ujarnya sambil memberikan amplop yang tadi Ve berikan.
Melody ada dalam keadaan serba salah dan tidak enak. Tidak mungkin dia memberikan kabar gembira diatas kabar duka, yang menimpa Shania.
"...Kalau kita menunggu Shania, entah kapan Operasi itu akhirnya akan bisa dilakukan. Shania Koma, Kak! Aku gak tahu kapan dia akan kembali!?..."
Mata Ve berair saat mengucapkan kalimatnya.
"Kalaupun.. Kak Melody berikan uang ini sama Tante Ana. Dia pasti akan bertanya darimana Kakak dapat uang ini! Terus? Jawaban seperti apa yang harus Kakak berikan!?"
"Alasan apapun Kak! Kita semua ingin agar Beby sembuh kan?... Lakukanlah, karena semua ini... yang diinginkan Shania. Jangan sia-siakan perjuangan Shania, untuk Beby, Kak! Aku mohon!!"
Ve mengembalikan amplop coklat itu kepangkuan Melody.
"Shania... emang gak ada disini. Tapi, Aku yakin.. dia pasti melihat semua ini! Temuilah Dokter, setujui prosedur Operasi. Biarkan Beby sembuh. Biarkan Shania tersenyum melihat hasil perjuangannya.! :'-(" Ucap Ve begitu tulus.
Melody akhirnya menyerah, dia tidak lagi menolak. Apa yang diutarakan Ve, memang benar adanya. Dia memegang kembali amplop coklat itu.
"Aku harus balik ke rumah sakit Kak. Karena Shania disana sendirian! Titip Beby ya Kak :'-)"
Ve berdiri dari tempatnya tadi duduk.
"Tunggu!" Melody ikut berdiri. "Apa tidak sebaiknya kamu temui dulu Beby sama Tante Ana?" Usul Melody.
Ve terdiam sejenak. Dia melangkahkan kakinya kepintu tempat ruangan Beby dirawat, melihat kedalam dari balik jendela kecil dipintu, terlihat sosok Beby didalam, Ve memandangi Beby.
"...Kalau Aku masuk dan nemuin Beby, dia pasti akan tanya dimana Shania! Dan Aku.. gak mau Beby kepikiran soal Shania yang mengalami kecelakaan, karena Beby pasti gak akan mau melakukan Operasi, kalau dia tahu kondisi Shania.!" Ve begitu pasti membuat tebakan.
"Jagain Beby ya Kak? Kabari Aku kalau Operasinya siap, dan saat nanti sudah selesai!"
Ve masih bisa mencemaskan Beby, ditengah kecemasannya memikirkan Shania.
"Ve..?" Melody memanggil Ve yang sudah siap pergi.
Setelah jaraknya begitu dekat. Melody melejit memeluk Ve.
"Shania akan baik-baik aja! Dia pasti akan kembali menemani kamu, dan kita semua..!" Ucap Melody dalam pelukannya pada Ve.
"Terima kasih, Ve. Terima kasih juga buat Shania. Beby.. sungguh sangat beruntung bisa memiliki sahabat seperti Shania, dan kamu yang sudah menganggap dia adik."
Ve hanya bisa mengangguk pelan, dengan di dalam hati meng amini ucapan Melody.
Sampai kembali dirumah sakit tempat Shania dirawat, Ve yang akan masuk ke ruang ICU, di cegah oleh suster. Dia bilang, didalam ruangan penuh, jadi Ve tidak bisa masuk dulu. Saat Ve tanya siapa yang sedang menjenguk Shania, Suster itu bilang... Orangtuanya Shania.
'Papa sama Mama(?) Mereka ada didalam?'
Rasa tidak percaya menguap dalam hati, Ve menanti keluarnya dua orang yang suster bilang orang tua Shania.
Sekembalinya dari luar, Melody diam memandangi Beby yang sudah tidur. Pikirannya menerawang membuat gambaran masa depan, seandainya Operasi itu dilakukan. Tapi, bagaimana kalau Beby tahu soal Shania yang mengalami kecelakaan?
Melody mengelus wajah Beby, ada sekelebat gambaran Shania ketika tangannya menyentuh wajah Beby.
"Kamu pasti sembuh!" Ucapnya lirih,
'Kalian berdua pasti akan sembuh!!' lanjutnya berucap dalam hati.
Mama yang melihat tingkah Melody, sepertinya merasakan sesuatu yang 'aneh' dari sikapnya. Meskipun Mama bukan Mama kandung Melody, namun perasaan seorang Ibu sangatlah sensitif. Dia bisa tahu apa yang sedang dirasakan anak-anaknya, ataupun orang yang dekat denganya.
Hanya dengan melihat wajahnya saja, dia bisa merasakan ada sesuatu yang sedang membuat anak-anaknya gusar, bahkan,.. meski hanya lewat sikap kecil yang tak terlihat. Dia selalu jadi yang pertama tahu.
Seorang Ibu yang benar-benar Ibu, akan tahu setiap keceriaan dan kesedihan yang sedang dihadapi anaknya. Sekalipun Ibu sedang dalam rasa lelah, sedih, karena masalah atau lain hal yang sedang dihadapi.
"Mel?" Melody melihat Tante Ana, "Bisa Tante bicara sebentar?" Melody mengangguk, karena kebetulan dia juga ingin memberitahukan Operasi Beby.
"Cindy? Tante titip Beby ya?" Pinta Mama.
"Siap Tante " Dengan senang hati Cindy menjawab.
Mama menuntun Melody keluar ruangan.
"Ada apa..?" Tanpa basa-basi, Mama langsung bertanya.
"Maksud Tante?" Heran Melody,
"Apa yang sedang kamu pikirkan? Tante tahu, ada yang sedang kamu bingungkan, iya kan?"
Melody menghela nafas, ketika mendengar pernyataan Mama. Tanpa berlama-lama, dia mengeluarkan amplop coklat yang tadi diberikan Ve.
"Beby bisa di Operasi Tante! Besok, kita temui Dokter ya? Beby pasti akan sembuh!"
Ucapan Melody harusnya diutarakan dengan keantusiasan, tapi ini? Dia terlihat gusar dan begitu nyata terpampang diwajahnya, kalau Melody sedang menyembunyikan sesuatu.
"Dan ini... Biaya untuk Operasi Beby, Tante!"
Melody memberikan amplop itu pada Mama.
"...Darimana kamu dapetin uang ini?"
Pertanyaan Mama langsung ke inti.
"Jangan pikirkan darimana uang ini, Tante. Yang pasti, ini uang.. untuk Beby! Untuk jalannya Beby menuju kesembuhannya!!"
"Apa yang sudah Kamu sama Mama Kamu jual, Mel? Ini bukan jumlah kecil, kenapa kamu harus sampai melakukan semua ini, untuk Beby?"
Mama mencoba menebak, menyelami pikiran Melody.
Melody yang tadinya tidak ingin memberitahu, seperti yang diinginkan Ve, jadi terpaksa harus mengatakan yang sebenarnya. Karena Mama mengira uang itu darinya.
"Bukan Tante! Itu bukan dari Melody!!"
Jawaban Melody seketika mendapat pertanyaan lain dari Mama.
"Lantas? Dari siapa uang ini?"
"...Itu dari... dari Shania Tante!"
"Shania?" Melody mengangguk, "Shanianya sekarang dimana? Darimana Shania mendapatkan uang sebanyak ini, Mel? Terus, kenapa dia belum menjenguk Beby? Tapi malah ngasih uang yang jumlahnya segini banyak!"
Mama memberondongi Melody dengan tanya herannya.
"Shania... bukan Shania langsung yang memberikan uang itu, Tante! Tapi..." Melody diam sebentar, "Tapi.. Ve! Dia yang memberikan uangnya!!"
"Sekarang Ve? Terus Shanianya?"
"...Shania... dia... (Melody memejamkan kedua matanya, sebelum melanjutkan penjelasannya.), Shania... dia mengalami kecelakaan saat menuju pulang dari tempatnya mendapatkan uang ini, Tante!"
Pernyataan Melody langsung membuat Mama lemas.
Ve sempat menceritakan kronologi kejadian kecelakaan yang menimpa Shania.
Mama menundukan kepalanya lemas. Dua rasa yang masuk dalam hatinya, rasa senang saat mendengar Beby bisa di Operasi, tapi kemudian.. ada rasa lain yang mencampuri kegembiraan yang dirasa hingga tidak tahu pasti bagimana harus bereaksi.
"Ve tidak mau kalau Beby tahu soal kondisi Shania, yang saat ini sedang Koma, Tante! Yang Ve inginkan, kita segera mengajukan pada Dokter kalau Beby siap di Operasi. Dan menurut Ve, itu juga yang Shania inginkan!!"
"Koma..? Separah apa Mel?" Tanya Mama dengan raut wajah begitu sedih.
"Melody.. juga belum lihat langsung Tante! Besok.. Melody akan kerumah sakit tempat Shania dirawat. Dan Tante... ambilah keputusan itu Tante (Beby segera di Operasi). Ini semua... Shania yang menginginkan!"
"Haaaah... Skenario seperti apa yang sudah Tuhan buatkan, untuk mereka!? (Shania dan Beby)" Tanya Mama dalam campuran rasa didalam hatinya. Melody mendekati Mama dan memegang bahu Mama dari samping.
"Ve..?"
Suara Papa terdengar, Ve mengangkat kepalanya. Saat dia bisa melihat, ternyata.. Di sebelah Papa ada Mama yang masih mengenakan pakaian pasien.
Papa dan Mama mendekat, Ve beranjak dari duduknya. Dia melihat Papa... kemudian Mama... dengan tatapan dingin dan kuncian mulut, yang tidak ada sepatahpun kata meluncur dari bibir tipisnya itu. Ve lalu menyeret tubuhnya sendiri, untuk masuk keruangan tempat Shania masih terbaring.
"Ve tunggu, Ve! Papa mau bicara sama kamu?" Papa mencoba menghentikan Ve.
"Mama juga, Sayang! Mama mau bicara sama kamu?"
Ve yang tidak siap berhadapan dengan Papa dan Mama, hanya diam.
"Mama... mau minta maaf, Ve! Mama menyesal!!" Suara Mama sudah berat.
Ve yang ingin meninggalkan, malah jadi merasa berat untuk melangkahkan kakinya.
"Harusnya Mama yang ada di posisi Shania sekarang!... Ini semua salah Mama!!" Sesalnya.
Mama mengingat kondisi Shania, dia menarik kembali gambaran saat sedang dengan Pria didalam SUV Rover waktu itu. Mama dan si Pria yang mengemudikan, ternyata sedang terlibat adu mulut didalam mobil, hingga si Pria kehilangan kontrol dan ke fokusannya saat menyetir. Dan... terjadilah kejadiaan naas nan mengerikan yang sampai merenggut satu nyawa, dan nyawa lainnya terancam dalam kematian.
"...Dan Papa juga! Ini semua salah Kami,.. Papa dan Mama yang sudah gagal jadi orangtua buat kalian!!"
Papa ikut andil menyalahkan diri sendiri.
Ve merasakan sesak, saat mendengar ucapan yang membuat panas gendang telinganya.
"Lihatlah Papa sama Mama, Ve! Kami tidak mau, kehilangan kalian. Kamu sama Shania adalah pemberian Tuhan yang paling indah!! Maafkan tingkah Papa sama Mama yang sudah pernah mengabaikan kalian!!?" Ujar Papa.
Ve masih tetap tidak membalikan badannya untuk bertatap muka dengan Papa dan Mama.
"Kalau kamu masih marah. Tidak apa-apa, Mama cuma bisa berharap.. Kamu sama Shania, bisa maafin Mama... juga Papa! Maafi,-"
"Simpan kata Maaf itu Mah! Simpan penyesalan Papa sama Mama. Karena semua sudah terjadi!!" Ve membuka mulutnya juga.
Mama dan Papa mendengarkan dalam rasa sesalnya. (Mama menghubungi Papa dan memberitahukan tentang kejadian ini. Dengan cara mereka yang tidak dimengerti Ve, keduanya malam ini terlihat akur. Mungkin mereka sudah sadar akan kesalahan besar yang sudah mereka lakukan. Dan sekarang... tinggal bagaimana kedua orang yang dulu saling mencintai ini, menghadapi penyesalan yang muncul setelah sadar dari kesalahannya.)
"Kalau Mama masih percaya dengan harapan. Berharaplah... Tuhan masih memberikan waktu untuk Shania. Berharaplah... Tuhan masih bisa membuat Ve, menghilangkan rasa kecewa Ve, agar tidak jadi kebencian, buat Mama... juga Papa!..."
Mama menangis sesenggukan, Papa mendekat dan memeluk Mama dari samping. Mereka menyaksikan ucapan putri sulungnya, yang bahkan saat bicara tidak sama sekali memperlihatkan wajahnya pada mereka.
"...Nikmati penyesalan itu. Teruslah berharap, agar Kami... titipan terindah dari Tuhan ini, tidak membenci kalian. Karena Kita tahu, Kita tidak pantas untuk menaruh benci pada Papa sama Mama yang sudah berjuang keras, membuat Kita seperti sekarang ini!... Tapi, Papa sama Mama pasti tahu juga? Aku.. sama Shania, cuma manusia biasa Pah, Mah! Kekecewaan ini, sudah membuat Kita, kehilangan respect sama Papa juga Mama!!... Maafin Ve!!!" Ucapan terakhir Ve, meminta maaf!
"...Veee... Maafkan Mama...."
Mama semakin sakit dalam tangisnya.
Ve tidak mau menggubris, dia melanjutkan langkah kakinya menuju ruangan. Tanpa sedikitpun menolehkan wajahnya pada Papa dan Mama, yang menyebutkan namanya juga Shania, dengan iringan kata Maaf.
Kekecewaan itu sudah terlanjur terpatri dalam hati. Apa yang mereka sudah lakukan.. yang Ve sebut 'Orang Tua, Papa Mama' yang posisinya begitu sangat amat Ve hormati di sela rasa sayangnya. Membuat Ve menjadi merasa begitu sangat jauh dari Papa dan Mama, tidak mengenali lagi sosok panutan yang dulu selalu dia agulkan. Ditambah kejadian yang sekarang menimpa Shania, sungguh membuat Ve enggan kalau harus bertatap muka dengan kedua orang dewasa, yang sempat mengedepankan sifat kekanakannya itu dalam menghadapi masalah.
Kembali, Ve hanya bisa duduk disebelah Shania. Menggenggam tangan pucatnya, menatapnya nanar, terdiam bersama alunan desah nafas Shania dibalik oksigen, mendengarkan nada lemah dari irama alat perekam detak jantung yang tersambung dengan jantung Shania lewat kabel-kabel kecil.
Beberapa menit lamanya Ve dalam posisi itu, hingga dia akhirnya bisa mengeluarkan suaranya.
"Kapan bangun, Dek? :'-( Kakak kangen sama kamu!"
Ve ingat apa yang dikatakan dokter 'Shania.. memang dalam kondisi Koma, tapi jauh dialam bawah sadarnya, dia bisa mendengarkan ucapan mereka yang berbicara didekatnya, merasakan sentuhan fisik yang dia terima'
"Kamu tahu? Kak Ve... Kakak udah ngelakuin apa yang kamu mau!" ...
"Beby pasti akan sembuh! Dan sekarang... Kamu yang harus sembuh!! Lihatlah, kalian akan bisa kembali membuat tulisan tentang kisah persahabatan kalian nanti..!!"
Ve membiarkan air matanya yang mendorong, jatuh dari tempatnya. Membasahi tangan Shania yang sedang dia pegang.
"Berjanjilah? Saat mentari mulai menyeruak, menemani pagi. Kamu akan membuka mata kamu, untuk kembali menemani Kakak!... Kakak tidak perduli, disaat mentari yang mana kamu akan bangun, Dek. Yang Kakak mau... Kamu, kembali bangun. Kakak akan selalu menunggu kamu! Kamu yang tidak akan pernah ninggalin Kakak, dan Kakak.. yang tidak akan pernah melepas pelukan Kakak sama Kamu!!"
Sudut mata Shania meneteskan air mata. Dia merasakan, dia mendengar, tapi dia tidak bisa melakukan apapun. Seperti ada di dunia.. namun bukan dunia.
*-*
Berdiri dikeramaian, tapi kesepian.
Berdiri dibawah teriknya matahari, tapi kedinginan.
Hanya berdiri dalam diam, karena tidak tahu dan mengerti pada apa yang terjadi.
Malam ini Beby begitu gelisah dalam tidurnya, seperti sedang ada yang memburu dalam mimpi yang memasuki tidurnya, sebuah mimpi buruk yang membuat Beby mengeluarkan keringat dingin. Sampai Mama, Melody, dan Tante Rose, yang melihat merasa takut.
Mama mencoba memanggil untuk membangunkan Beby, tapi dia tidak membuka matanya. Hanya desah nafas keresahan yang mengalun dari bibir Beby, dan gerakan kegelisahan yang diperlihatkan tubuh kurusnya, pada mereka yang setia mendampingi diruangan itu.
Melody segera menekan tombol Urgent, di sebelah kiri kepala Beby. Memberitahukan pada Suster jaga, kalau ada yang tidak beres diruangan itu.
"Beby?"
Beby menoleh kebelakang, "Shania...?" dengan senyum yang terpancar dari wajah pucatnya, Beby menyebutkan nama Shania.
"Kamu mau kemana?" Tanya Shania.
Mereka berdiri saling bersebrangan.
"Aku harus pergi, Shan!"
"Pergi? Kemana? Kamu gak boleh ninggalin aku sendirian!" Ujar Shania.
"Aku gak akan pernah ninggalin kamu. Aku akan selalu ada didekat kamu kok. Tapi... aku harus pergi!"
Beby mengulaskan senyumnya, sebuah senyum manis yang begitu tulus.
Shania memaku melihat Beby.
"Kamu gak bisa pergi gitu aja! Aku... Aku akan bikin kamu sembuh, Aku udah minta sama Tuhan, Beby. Dan kamu... akan sembuh!" Shania menitikan air matanya.
"Apa yang bisa kamu lakukan sekarang? Kamu udah minta sama Tuhan. Tapi kamunya sendiri? Kamu gak ada di dekat Aku! Aku gak cuman butuh uang atau bantuan lain apapun dari Kamu. Tapi Aku juga butuh Kamu. Datanglah, Aku butuh Kamu, Shania!!!"
Ucapan terakhir Beby, dibarengi dengan kepergiannya dari hadapan Shania. Kepergian yang begitu cepat, hingga Shania tidak tahu arah yang dituju Beby.
"Beby..?!" Shania berteriak dan mencari sosok Beby, "Bebyyy....!? Jangan tinggalin aku sendirian! Bebyy....."
Tangannya bergerak, jemari putih yang dipasangi slang infus dan darah itu menggerakan diri. Shania memperlihatkan gerakan kecil yang berarti. Saat dia sedang berteriak dialam yang tidak dia ketahui, memanggil dan mencari Beby yang pergi meninggalkannya.
Suster jaga ruang ICU segera memanggil Dokter. Ve yang sedang duduk mencoba beristirahat, didalam ruang tunggu khusus penunggu pasien yang ada diruang ICU, menggerakkan bola matanya. Mengikuti gerakan suster, untuk mengetahui apa yang terjadi diruangan itu.
"Aaada apa Suster?"
Ve mencegah suster yang keluar dari dalam ruangan setelah sebelumnya memanggil dokter.
"Ada perkembangan bagus, dari adik Mbak! semoga ini pertanda baik, ya Mbak!!" Jelas Suster membuat Ve seperti mendapat angin sepoy ditengah padang pasir yang gersang. Meski kabarnya belum begitu pasti, namun harapan Ve kembali menyeruak kepermukaan.
"Bagaimana, Dok?"
Pertanyaan sama yang terus Mama ulangi setiap ada Dokter yang memeriksa Beby.
"Tidak ada apa-apa. Semua masih tetap sama! Tidak ada tanda kalau kondisi Beby menurun!!"
"Kalau tidak apa-apa? Kenapa Beby terlihat gelisah, Dok?" Kembali Mama bertanya, "Dan saat kita coba bangunin, Beby tidak merespon!"
"Kemungkinan... itu hanya efek samping dari obat. Tubuh pasien, sesekali bisa memperlihatkan reaksi seperti itu, saat dia dalam pengaruh obat yang baru masuk dalam tubuhnya."
Sedikit penjelasan Dokter yang bisa Mama terima, akhirnya bisa membuat Mama tenang. Ditambah, Beby pun kini sudah terlihat biasa lagi, menikmati tidur malamnya.
"Oh iya Bu? Bagaimana dengan Operasi Beby? Kapan akan ada persetujuan pelaksanaan Operasi itu?" Mama termangu. "Waktu terus berjalan, kita tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang masih ada di depan mata!" Ujar Dokter.
Dan sebelum dokter itu keluar ruangan. Dia kembali merangkaikan kalimat magicnya. "Kami harap, keputusan dari Ibu bisa secepatnya Kami dengar. Agar Kami bisa mempersiapkan semuanya! Pikirkan baik-baik Bu, kesempatan selalu ada, tapi alangkah lebih baik jika saat kesempatan pertama itu datang, kita segera mengambil keputusan, akan diapakan kesempatan itu!" Dokter pun pergi meninggalkan ruang rawat Beby.
"Apa yang harus Aku lakukan?" Mama memegang tangan Beby.
Melody dan Tante Rose melihat Mama. Mereka berdiri disamping Mama yang duduk menghadap Beby.
"Apa yang Dokter bilang, ada benarnya An. Kesempatan memang selalu ada. Tapi akan lebih baik pada hasilnya nanti, kalau kita mengambil keputusan dikesempatan pertama yang kita miliki. Apapun keputusan kamu, jangan sampai membuat satu sisi senang, namun sisi lainnya.. tidak bisa menikmati kesenangan!" Tante Rose bicara begitu lembut.
"Kalau kamu masih ragu menerima bantuan dari Shania untuk Beby, karena Shania juga sedang sakit. Maka sebaiknya, kamu bicarakan ini sama Beby! Membiarkan dia tahu kebenarannya, tidak akan menyakiti dia, An!" Ujar Tante, yang seolah tahu akan ketakutan Mama kalau seandainya dia bicara tentang Shania yang sedang dalam kondisi koma karena kecelakaan.
"Aku takut! Kalau Beby tahu soal kondisi Shania, dia malah drop. Dan... kita tidak tahu, apa yang akan terjadi sama Beby! Itu juga kan, yang Ve bilang?"
Mama melihat Melody. Apa yang sudah Mama lihat pada diri Shania ketika menjenguknya tempo hari, setelah Mama menerima uang dari Melody yang diberikan Ve. Membuat Mama berdiri dalam kebimbangan.
Menandatangani surat persetujuan Operasi untuk Beby, dan membiarkan putrinya itu dalam ketidaktahuan tentang kondisi Shania, yang terlihat buruk saat itu. Beby berhasil Operasi, dan mungkin dia akan sembuh, tapi Shania?.
Atau.. memberitahukan pada Beby tentang Shania, dan menjelaskan kondisi juga kemauan Shania. Agar Operasi bisa dilakukan tanpa ada yang ditutupi dari Beby.
Mama yang paling tahu bagaimana Beby. Saat Mama memberitahukan Opsi kedua, sudah jelas akan dapat penolakan dari Beby. Dan jika Mama langsung memutuskan Beby masuk ruang Operasi, tanpa memberitahu kondisi Shania. Ending yang belum bisa ditebak bisa saja melahirkan penyesalan.
"...Kamu yang lebih tahu bagaimana Beby. Kamu pasti bisa mengambil keputusan yang benar, Ana! Ikuti apa kata hati kamu. Beby butuh kamu!!"
Tante mengelus lembut pundak Mama. Melody memeluk Mama Ana dari samping, dengan pandangannya dia lihatkan pada Beby.
Pagi hari kembali datang, dengan ditemani mentari dan kicauan burung. Menyambut semua pejuang untuk menjalani lagi aktifitas mereka.
Satu sekolah, kini sudah tahu tentang Shania yang mengalami kecelakaan. Ochi, Gaby, Noella, Vanka dan Octy, merasa sedih saat mendengar kabar yang dia dapat dari Gaby. Gaby yang selalu jadi orang pertama tahu soal berita hangat yang beredar disudut sekolahnya. Sementara Cindy, dia bukan hanya merasakan sedih. Tapi juga merasakan perasaan bersalah, karena waktu itu.. dia yang menghubungi Shania dan memberitahukannya mengenai Beby yang tidak ada dirumah.
Sementara, Shania sendiri sudah bisa dipindah keruang rawat biasa siang ini. Menurut dokter, kondisinya sudah mulai menunjukan perubahan yang signifikan, meski dia belum sadarkan diri sepenuhnya. Namun, yang paling penting, Shania sudah berhasil melewati komanya.
Ve merasakan kelegaan yang teramat, saat akhirnya Shania bisa dipindah keruang rawat, karena dengan begitu dia bisa menemani Shania setiap saat. Tanpa harus menunggu jam masuk seperti saat di ruang ICU.
Mama dan Papa tahu akan hal itu (Shania pindah ruangan), karena mereka juga menemani Shania dirumah sakit. Meski Ve menganggap keberadaan Papa dan Mama antara ada dan tiada. Tapi Ve tidak bisa mengusir mereka dari dekat Shania. Karena bagaimanapun juga, mereka tetaplah orangtua bagi dirinya, dan juga Shania.
"Kenapa berdiri disini sendirian?!"
Tanya Mama pada Beby yang sedang ada di balkon ruang rawatnya.
"Cuacanya dingin, anginnya gak enak!" lanjutnya.
"...Shania... apa dia marah sama Beby, Mah?"
Tanpa melihat Mama dan menghiraukan perkataan Mama, Beby melagu menanyakan Shania.
"Kenapa bicaranya seperti itu?"
Mama memegang tangan kiri Beby, melihatnya dari samping.
"Sudah seminggu Beby dirawat disini. Dan selama itu juga, Shania gak terlihat Mah! Mungkin dia marah sama Beby. Iya kan?"
"Dia tidak lagi marah sama kamu sayang. Dia.. Shania kan..." Mama berhenti berucap. Beby mengerung.
"Masih di Jogja? Kakek sama Neneknya masih sakit, Mah?" Beby menyalip ucapan Mama dengan pertanyaannya.
Mama tidak langsung menjawab, beliau memikirkan apa yang dikatakan dokter semalam. Memikirkan apa yang dikatakan Tante Ana. Memikirkan apa yang dikatan Ve. Menimbang semua ucapan itu, membiarkan dirinya menjadi terdiam karena pikirannya sedang saling berdiskusi. Memberitahukan tentang kondisi Shania, membuka jalan untuk Beby masuk keruang Operasi. Atau tetap merahasiakan kondisi Shania dan langsung bisa memasukan Beby keruang Operasi.
"Mah?" Beby memegang balik lengan Mama, hingga Mama sadar dari lamunannya.
Mama memberikan senyumnya pada Beby, "Mama... Mama mau kamu di Operasi sayang!" Jawaban Mama melenceng dari topik yang Beby buka.
"Bukan ini yang sedang Beby bahas, Mah! Lagian.. Operasi itu, hanya jalan kecil yang sempit, yang sulit untuk bisa Beby lewati. Untuk Beby... tidak menjalani Operasi itupun, tidak apa-apa Mah!" Jawab Beby diikuti senyum duka diwajahnya.
Beby berkata seperti itu, karena dia tahu betul, tidak mungkin untuknya bisa menjalani Operasi. Biaya darimana untuk menjalankan Operasi modern itu?! Uang Mama mungkin sudah sangat menipis karena pengobatan yang selama ini dia jalani. Selain itu, apa yang dia rasa pada tubuhnya, cukup bisa membuat Beby menarik kesimpulan kalau dirinya tidak akan pernah baik-baik lagi!.
"Beby minta sama Mama... Jangan terlalu membebani pikiran Mama dengan semua hal.. yang tidak mungkin bisa Beby nikmati Mah. Beby sudah merasa bahagia dengan semua ini! Beby sudah siap dengan kemungkinan apapun yang akan Tuhan berikan untuk Beby!! :'-)"
Ucapnya dalam kepasrahan.; Mama memegang wajah Beby,
"Yang Beby mau... Kalian semua selalu ada didekat Beby. Menemani Beby kalau Kanker ini suatu saat membuat Beby harus meninggalkan tubuh Beby. Mama, Shania, Kak Ve, Kak Melody, Tante Rose, Cindy. Kalian semua, selalu ada hingga nafas terakhir Beby nantinya!... Mama mau kan, menemani Beby sampai akhir?"
Pernyataan dan pertanyaan itu membuat Mama merasa dipukul dibagian dada, hingga Mama menitikan air matanya. Mama memberikan pelukan hangat untuk Beby.
"Mama akan selalu menamani kamu. Sampai kapanpun! Mama sayang sama kamu!!"
Bisik Mama ditelinga Beby. Dan Beby hanya bisa membalas ucapan itu dengan senyum haru, dan pelukan yang dia eratkan pada Mama.
Beby menarik tubuhnya, melepaskan diri dari pelukan Mama. Mama mengusap air mata yang ternyata menetes dari kedua bola mata Beby.
"Beby... kangen sama Shania, Mah. Sama Kak Ve juga! Kapan ya? Kak Ve sama Shania pulang dari Jogja!?"
Ucapan Beby membuat Mama membayangkan wajah mereka berdua.
"...Kamu mau ya sayang di Operasi?" Mama malah kembali menyinggung soal Operasi.
"Mah... tadi udah Beby bilang kan, kalau..,-"
"Kalau Operasi ini, permintaan langsung dari seseorang yang sedang kamu kangenin?"
"Maksud Mama?" Kerung Beby bertanya.
"...Shania, dialah yang meminta Mama agar kamu segera menjalani Operasi!" secuil penjelasan Mama membuat Beby kembali bertanya.
"Shania? Dia itu... masih aja, selalu menggampangkan sesuatu! Darimana biaya untuk Beby bisa masuk ruang Operasi, Mah?"
"Dari Shania langsung!" Jawab cepat Mama, membuat Beby kembali mengerung.
Beby tahu, keluarga Shania sekarang begitu sangat mapan dalam keuangan, tapi itu tidak lantas membuat Shania bisa dengan mudah mendapatkan uang jika dia meminta pada kedua orangtuanya yang sedang jauh dari jangkauannya.
"Uang untuk biaya Operasi kamu ini.. dari Shania. Dia.. dia menjual mobilnya, untuk bisa menolong kamu!"
"Apa..?" Ucapan Mama membuat Beby menganga tak percaya.
"Kamu harus mau menjalani Operasi ini, kalau kamu memang menganggap Shania itu sahabat terbaik kamu! Karena dia... sudah memberikan yang terbaik buat kamu, sayang!" Beby masih termangu dalam haru menyelimuti air mukanya.
"Shania... dia melakukan itu, cuma buat Beby Mah?" Mama mengangguk untuk menjawab tanya Beby.
"Mah? Boleh gak? Beby... pinjem Handphone Mama!?"
"Buat apa sayang?"
"Beby mau hubungin Shania, Mah. Kalau dia sudah melakukan itu semua buat Beby, maka.. Beby mau, dia ada di dekat Beby, saat Beby masuk dalam ruang Operasi!" Mama kaget mendengar apa yang diinginkan Putri kesayangannya itu.
"Tapi sayang? Shania kan masih...,-"
"Beby akan tunggu Shania pulang Mah. Dia pasti akan ada di dekat Beby!" Potong Beby yang mengira Shania masih di Jogja.
Mama yang bimbang dalam mengambil keputusan, untuk memberitahukan Beby tentang yang sebenarnya. Malah jadi tidak tega saat mendengar keantusiasan Beby yang menginginkan adanya Shania didekat dia, saat Operasi berlangsung.
'Benar apa kata Rose!' Mama kembali mengingat ucapan Mamanya Melody. 'Apapun keputusan kamu, jangan sampai membuat satu sisi senang, namun sisi lainnya.. tidak bisa menikmati kesenangan!'
'Aku tidak bisa membiarkan Beby masuk keruang Operasi dengan ketidaktahuannya tentang Shania. Dia memang berhak, dan bahkan harus tahu. Tentang kondisi Shania yang sudah mau berkorban untuk dirinya.'
Mama memegang erat kedua tangan Beby. Memakukan tatapannya, mengumpulkan semua kekuatannya, Mama siap memberitahukan kenyataan yang selama satu minggu ini beliau tutupi dari Beby. Memberitahukan sebuah kenyataan dari kesemuan yang sudah dibuat. Dengan bersiap pada kemungkinan apapun, yang akan Beby perlihatkan, setelah ucapannya meluncur.
Shania perlahan membuka matanya. Mengerang sakit dengan suara lemahnya. Kepalanya terasa begitu berat dan sakit, inginnya menggerakan tangan untuk memijat kepalanya yang terasa sakit itu, tapi dia kesulitan untuk menggerakan tangannya, karena selama satu minggu hanya tidur, tidur yang membuat semua orang panik.
Yang bisa Shania lakukan hanya memejamkan mata, dengan suara erangan diikuti desisan pelan dari mulutnya. Ve yang ketiduran disebelah Shania, bisa merasakan ada sekidit gerakan dibangsal yang dia pakai menyimpan kepalanya saat dia menjaga Shania, hingga dia tertidur. Setelah gerakan yang dia rasa, Ve mendengar suara dari sebelahnya. Kontan, Ve langsung mengangkat kepalanya, dan melihat Shania yang setengah jam sebelumnya masih memejamkan mata.
"..Shania..?" Ve mengalunkan nama adiknya itu. "..Dek? Kamu denger Kakak?" Dia simpan tangannya dibahu Shania.
Shania bisa mendengar suara itu. Perlahan... dia mencoba membuka kedua matanya, untuk mengenali sipemilik suara.
"Apa yang kamu rasakan? Mana yang sakit?" Tanya Ve melihat wajah Shania menahan sakit.
Shania sudah bisa membuka matanya, tapi... hanya kegelapan yang dia lihat.
"Kakak panggilin dokter ya, Dek?"
"...Kenaaapa... geelapp?" Suara Shania begitu lemah.
Dia membuka-tutup matanya untuk mencoba kembali mendapatkan visualisasi. Namun hasilnya tetap sama! Gelap!!.
Ve yang mendengar jadi ketakutan sendiri.
"Sayang, kamu bisa dengar suara Kakak kan?" Tanya Ve, "Ini Kak Ve.. Kakak ada disamping kamu!" Shania mengikuti gema suara yang mengalun dari pita suara Ve.
"Kkkakak... Shaania.. dimanaaa Kak? Kenapaa.. Kenapaa disini gelap!"
Shania yang semula kesulitan menggerakan tangannya, mempekerjakan paksa, tangan kakunya itu untuk dia pakai meraba kedua matanya. Sangat jelas, tangannya yang sudah bisa menyentuh kelopak matanya, memberikan kabar bahwa dia sudah membuka kedua mata itu. Tapi, kenapa..? Dia tidak bisa melihat cahaya! Hanya warna hitam yang begitu pekat yang terlihat.
"Kkenapaa.. kenapa semua hitam?... Kakk, nyalain lampunya? Shania..., Kenapa gelap, disini begitu gelap!"
Ve membelalakan matanya, dia tahu ada yang tidak beres pada Shania. Rasa senang yang sempat meletup ketika tahu Shania siuman, jadi meredup saat dengan jelas Ve mendengar komplen darinya.
"Kakak ada disini, disamping kanan kamu, Dek! Kamu bisa lihat Kakak?" Ve mencoba menarik kembali perhatian Shania, dengan perasaan was-was.
"Shaniaa.. Arghhhh... Kepala akuuu sakitt!.." Shania merasakan kembali sakit dikepala bagian belakangnya.
Ve segera memanggil suster diluar, lewat tombol emergency di sebelah kepala Shania. Tidak lama suster datang, dan Ve langsung menyuruh Suster itu untuk memanggilkan dokter rawat Shania.
"Kenapa...? Baru sekarang Mama kasih tahu Beby Mah!?" Beby menitikan air matanya.
Mama yang akhirnya memantapkan hati untuk memberitahu Beby soal kondisi Shania, berakhir dengan kesedihan yang diperlihatkan Beby.
"Mama... Maaafin Mama sayang, Mama bingung, Mama gak tahu harus mengambil langkah apa? Mama terlalu takut kalau Mama akan kehilangan kamu!" Jawab Mama.
"Shania.. dia udah ngelakuin hal..., hal besar untuk Beby! Shania sama kayak Mama, takut kehilangan Beby. Tapi, bagaimana mungkin Mama menyimpan semua ini, dan malah menyuruh Beby untuk masuk keruang Operasi. Sementara, Shania sendiri? Dia sedang memperjuangkan hidupnya, Mah! Memperjuangkan kehidupannya, setelah dia memperjuangkan kehidupan Beby!" Mama tidak bisa berkata apapun, beliau hanya menunduk sambil menangis.
"Beby mau... arghhh--,"
Suaranya jadi desisan rasa sakit. Mama yang mendengar jadi takut.
"Beby..?"
"...Beby mau... hsss--, mau pergi nemuin.. ahwww--, Beby harus... nemuin... Shani...a..." Beby terjatuh tidak bisa lagi menopang tubuhnya yang kembali bereaksi dengan virus kanker. Mama membelalakan kedua matanya ketika melihat Beby ambruk. Dengan panik Mama mengguncang tubuh Beby. Tapi tidak ada respon, Mama berlari kearah bangsal untuk meraih tombol emergency.
"Apa yang bisa kita lakukan Dokter?"
Suara Ve begitu lemah, dia sungguh terkejut dengan apa yang dia dengar tentang kondisi Shania dari dokter rawatnya.
"Shania.. harus segera mendapatkan retina mata baru, untuk matanya yang sekarang!"
"Retina mata baru,... sssegera? Maksud Dokter?"
"Seperti yang sudah saya jelaskan diawal. Setelah melihat hasil scan mata bagian dalamnya Shania yang ternyata terluka. Lukanya sangatlah parah, pecahan kaca itu merobek retina mata Shania, hingga dia jadi mengalami kebutaan!"
Setelah senyum yang baru saja akan bisa Ve kembangkan ketika tahu Shania berhasil melewati komanya, kini senyum itu seketika kembali meredup.
"Apa yang terlihat dalam laporan, bisa dibilang cukup menghawatirkan dan mungkin akan jadi buruk untuk Shania."
"Jelaskanlah dengan bahasa yang lebih simple Dokter?" Protes Papa yang juga ada didalam ruang dokter.
"Kerusakan pada matanya, tidak bisa sembuh hanya dengan Operasi, Pak! Shania harus mendapat donor mata, untuk bisa mengembalikan penglihatannya. Transplantasi retina mata, itulah jalannya!!.. dan, dalam kasus Shania, ada beberapa hal baru yang kami temukan. Kerusakan pada matanya, harus segera ditangani, karena kalau tidak..." Papa, Mama dan Ve berharap cemas dengan apa yang akan diutarakan oleh dokter. "..Shania akan mengalami kebutaan permanen! Tanpa bisa disembuhkan lagi, sampai kapanpun!!".
Ve menundukan kepalanya, menangis membayangkan Shania. Pun dengan Papa dan Mama, mereka begitu sangat amat merasakan perasaan bersalah, ditengah kesedihannya.
Menyakitkan! Saat sebuah ujian, dihadapkan dalam kehidupan yang sedang dijalani. Hanya air mata yang jadi teman setia, berdiam diri menanti adanya keajaiban terselesaikannya ujian itu. Namun, apa dengan berdiam diri dan menunggu keajaiban itu? Ujian akan berakhir?! Seperti saat ingin melangkah. Tidak mungkin bisa kedua kaki melangkah jika hanya berdiam dan tidak melakukan pergerakan. Sama seperti halnya ujian hidup. Tidak mungkin bisa selesai sebuah ujian, jika kita hanya berdiam diri tanpa melakukan apapun.
Sumber : Cemistri Jkt48 | Facebook
Langganan:
Postingan (Atom)