...PELANGI DALAM SAKURA...
*18th Chapter
Sebuah akhir... yang tidak pernah berakhir!
***Part I***
Ve duduk disebelah Shania, menatapnya dalam tatapan penuh kesedihan.
Apa yang harus dia ucapkan saat nanti Shania bangun? Apa yang harus dia lakukan saat nanti Shania bangun dan bertanya tentang gelapnya ruangan tempat dia sekarang dirawat?
Hal sulit itu masih belum enyah dalam hidup mereka berdua. Sekalipun Shania bisa bertahan dalam kecelakaan yang melibatkan Mamanya, tapi kesulitan lain yang tidak kalah sulitnya, menghadang, memotong jalan yang sedang dilalui. Menguji kepercayaan, ketabahan, dan kesabaran keduanya.
Ve, merasakan tangannya bergerak, karena ternyata tangan Shania yang sedang dia genggam melakukan gerakan.
"Dek..?" Panggilnya, memastikan.
Saat matanya mulai terbuka, Shania merasakan itu lagi... gelap, ada suara, dan dia tahu siapa pemilik suara itu. tapi dia tidak bisa melihat Kakaknya, hanya ruang yang begitu legam gelap yang dia lihat! sebelahmana suara itu.. Shania coba mencari.
"Kaak Ve..?"
"Kakak disini, Dek!"
"Kenapa... kenapa disini gelap, Kak?"
Ve menahan tangisnya, dia seketika diam, tidak tahu harus menjawab apa.
"Shania.. Shania gak bisa lihat Kakak! Kenapa gelap Kak? Apa... Kakak juga merasakan yang sama!?" Tanyanya kembali, mengira mati lampu!
"Selamat siang!"
Dokter dan Suster masuk kedalam ruang rawat Shania.
"Suara siapa itu?.. Siapa yang datang, Kak?"
Ve menyeka air matanya, menekan suara tangisnya. "...itu.. itu Dokter, dek!" lalu menjawab tanya Shania.
Meski kondisi Shania belum pulih benar, tapi dia tetap bisa mempekerjakan otaknya. Shania jadi berpikir, kalau diruangan itu mati lampu, kenapa Kakaknya bisa tahu kalau suara yang keluar tadi itu milik dokter?!
"Dokter..? Kakakk.. bisa lihat? Jadi? Disini.. disini gak lagi mati lampu Kak?! Terus Shania.., kenapa Shania gak bisa lihat apapun! Kenapa semuanya gelap Kak?"
Shania mulai takut, dia meyakini, ada yang salah dengan penglihatannya, dengan kedua matanya. Tapi, Shania mencoba memungkirinya.
Ve tercengang, ucapan yang awalnya tidak tahu harus dia rangkai seperti apa untuk memberi tahu Shania, ternyata malah sebuah ucapan tidak lebih dari 8 kata yang menjadi pembuka.
"Kakk..? Shania kenapa? Kenapa disini... (Shania merabakan tangan pada kedua matanya, dan menguceknya perlahan), Shania lagi buka mata! Tapi kenapa? Ada apa sama Shania Kak? Kenapa Shania gak bisa melihat?"
Shania yang belum begitu stabil, meluapkan rasa takut dalam kegelapannya.
"Maafin Kakak.. Shania..."
Ve memegang tangan Shania dengan tangis mengiring. Shania bisa merasakan tangis kesakitan dari Kakaknya.
"Kenapa Kak?... Dokter? Ada apa sama mata aku? Kenapa semuanya gelap!?"
Shania memainkan matanya untuk menjangkau Dokter dan menanyakan keadannya secara rinci.
"Kenapa.. gak ada yang jawab! Ada apa sama penglihatan aku!?"
Shania semakin menjadi, dia merabakan kedua tangannya, dan kini diikuti gerakan dari tubuhnya, hingga dia nyaris jatuh. Tapi untungnya, Ve begitu sigap. Shania mencoba berontak dalam tanya ketakutannya, di dekapan Ve.
"Kamu.. Kamu akan baik-baik aja, Dek! Semua akan baik-baik aja!!" Ve mencoba menenangkan.
"Apanya yang baik, Kak? Semuanya gelap! Kenapa dengan mata Shania!?" Jawabnya dalam tangis dan pemberontakan, pada Kakaknya.
Dokter yang didampingi seorang suster, sesegera mungkin mendekat kebangsal Shania. Dan dengan cepat dia menyuruh suster untuk menyuntikan pembius ringan pada Shania, karena dia terus bergerak melakukan pemberontakan. Dokter mengambil tindakan itu untuk mencegah rasa sakit di tubuh bagian lain Shania timbul, dan mengakibatkan kondisi Shania yang baru setengah stabil kembali drop.
Setelah pemeriksaan yang Dokter lakukan pada Shania selesai, Ve duduk sebentar didekat adiknya yang sedang tidur. Beberapa menit lamanya, dia memutuskan untuk berjalan keluar ruangan.
Duduk sendiri didepan ruang rawat Shania. Pikirannya dipenuhi tentang bagaimana cara agar dia dapat donor retina mata secepat mungkin, tanpa harus mengantrikan Shania di daftar penerima donor, pada bank mata.
'Ah! Darimana?, Siapa yang akan dengan sukarela memberikan retina matanya untuk orang lain?'
Ve begitu resah dan gelisah,
'Jangankan yang masih memiliki kehidupan! Yang sudah meninggalpun... sangat sedikit yang dengan sukarela memberikan retina matanya!!'
Dia menyandarkan kepalanya ke dinding. Menerawang langit-langit.
Sementara itu, Papa dan Mama tidak tinggal diam. Merekapun mengerahkan kemampuannya untuk mencarikan donor mata, bagi Shania. Memasang iklan, mengimingi siapapun yang mau mendonorkan matanya dengan rupiah yang berjumlah fantastis, tanpa mereka mau sadari kalau perbuatannya itu bukanlah perbuatan baik.
Dan lagi, Mama yang ingin dan rela, mendonorkan matanya sendiri demi menebus rasa bersalahnya pada Shania, ternya.. tidak Tuhan kehendaki. Mama tidak bisa mendonorkan mata karena matanya yang minus. Mungkin, ini hukuman yang Tuhan berikan atas semua kehilafan Mama yang sempat menelentarkan kedua putrinya, meninggalkan keluarganya dengan pergi bersama pria lain. Niat baik yang keluar dari lubuk hatinya sekalipun, mendapat tentangan dari Tuhan. Atau mungkin..., ada hal lain yang akan Tuhan tunjukan, sesuatu yang lebih indah, bahkan lebih indah dari apa yang mereka bayangkan. Bukan hanya sebuah hukuman dari keteledoran, namun suatu akhir yang akan melahirkan banyak makna, untuk dijadikan pelajaran.
Tuhan selalu punya alasan atas semua rencana yang Dia buat!
"Kak Ve?"
Ve masih dialam lamunannya, saat Beby memanggilnya.; Melody menatap Ve.
"...Kak!"
Kembali Beby memanggil dengan kali ini diikuti sentuhan ditangan Ve.
Ve yang akhirnya menyadari seseorang sedang memanggilnya, segera menatapkan matanya.
"...Beeby!"
Suaranya terdengar tidak percaya, menyebutkan nama Beby.
Beby mengulaskan senyumnya pada Ve,
"Kakak kenapa?" Tanya Beby cemas.
Ve menyeka air matanya, "Kamu... Kenapa kamu bisa disini?" Tanyanya kemudian, tidak menghiraukan kecemasan Beby.
"Beby mau ketemu Shania, Kak!" Jawab Beby.
"Tapi kamu kan?.., Bagaimana Operasinya? Udah?" Ve melencengkan ucapannya, jadi pertanyaan untuk Beby.
Beby diam belum menjawab. Ve melihat Melody, dan Melody yang sadar akan tatapan tanya Ve, segera menggelengkan kepalanya pelan, berisyarat kalau belum ada Operasi.
Ve kembali melihat Beby. Belum sempat Ve bicara, Beby memotong dengan mengeluarkan suaranya.
"Beby... Beby minta maaf Kak! Beby bukan sahabat yang baik buat Shania!" Beby menundukan kepalanya.
"Apa maksud kamu, Dek?" Ve mengerungkan keningnya.
"Beby... gak tahu kalau Shania... dia mengalami kecelakaan, dan...," Suara Beby terhenti karena dia tidak bisa menahan tangisnya.
Melody yang berada dibelakang kursi roda Beby, mengelus pundak adik sepupunya yang tadi memaksa dirinya untuk mengantarkan dia pada Shania. "Beby minta maaf... Beby gak bisa ngelakuin apapun, Kak! Beby..,-"
Ve yang bisa merasakan kesedihan Beby, segera turun dari bangku yang tadi ia duduki dan berjongkok didepan Beby.
"Sssutt... Jangan bicara apapun lagi! Kamu gak seharusnya bicara seperti itu!" Ve mengusap air mata Beby. "Shania... dia udah siuman kok. Dia udah baik-baik aja, meski...," Ve menahan ucapannya.
Beby dan Melody melihat kearahnya, yang tidak melanjutkan kata-kata namun malah melamun. (Ve belum memberitahu soal perkembangan Shania.)
"Meski apa Ve...?" Melody yang mempertanyakan. Ve menatap Melody, kemudian kembali ke Beby.
"Shania... dia mengalami kebutaan, Kak!"
Kedua tamu yang juga sudah Ve anggap keluarga itu melebarkan kedua matanya. Kaget dengan informasi yang baru saja masuk dalam telinganya.
"Aaapa? Shania... dia... dia gak bisa lihat Kak?" reaksi Beby yang masih dalam sisa tangis, bercampur dengan kekagetan. Ve mengangguk lemah.
"Bagaimana bisa?..." Beby terdengar menyesal dan sedih kala mendengar apa yang Ve ucapkan. Karena semalam, dalam tidurnya setelah sore hari dia pingsan, dia melihat Shania yang ketakutan dan menyinggung soal kegelapan. Inginnya dia mendekap dan memberikan sedikit kekuatannya pada Shania, tapi semua sia-sia, karena meskipun dia ada di dekat Shania, dia tidak bisa melakukan apapun, tubuhnya ditarik.. menjauh dari Shania yang sedang duduk sendirian.
"Separah apa, Kak? Shania bisa melihat lagi kan?" Tanya Beby dalam wajah sedihnya.
Ve berdiri, menghela nafas begitu dalam.
"Kalau saja, hanya dengan Operasi biasa Shania bisa kembali melihat, Kakak gak akan menunda pelaksanaan Operasi itu. Tapi ini,... Shania... dia tidak bisa sembuh hanya dengan Operasi biasa! Dia harus... mendapatkan donor mata, agar bisa kembali melihat!! Operasi pencangkokan retina mata, yang akan membuatnya kembali bisa melihat. Hanya itu jalannya..." Jelasnya dalam kepedihan teramat sangat.
Beby kembali menjatuhkan air matanya. Mendengar apa yang Ve uraikan, membuat dia begitu mengutuk diri sendiri, karena sempat mengira Shania sedang marah padanya saat dia tidak ada datang menjenguk.
"...Bukan Operasi pencangkokan matanya yang Kak Ve khawatirkan, tapi... Pendonor matanya!"
"Maksud Kakak..?"
"Dokter bilang, Kondisi kebutaan Shania.. tidak bisa membuat matanya menunggu terlalu lama. Kalau dalam waktu 1bulan dia belum juga mendapatkan donor mata, maka... dia akan hidup dalam kebutaan itu untuk selamanya!"
Apa yang Ve jelaskan adalah pukulan telak yang menghantam dada Beby dan juga Melody.
Tidak Beby rasakan, ada darah segar keluar dari hidungnya. Bahkan denyutan dikepalanyapun dia abaikan, karena rasa sakit mendengar kondisi Shania lebih mendominasi sensorik tubuhnya, hingga dia tidak merasakan hal apapun. Selain bayangan dari sakitnya Shania.
"Darah? Hidung kamu berdarah, Dek!"
Ve melihat diwajah pucat yang tirus itu mengeluarkan cairan berwarna merah. Dia segera berjongkok kembali menghadap Beby.; Beby meraba hidungnya; Melody mengeluarkan saputangan dan ikut berjongkok didepan Beby, dia menutupkan saputangan itu.
"Kita harus kembali ke rumah sakit, Beby!" Cemas Melody.
"Kak Melody benar! Wajah kamu juga sangat pucat, Dek!" Ve jadi ikutan mencemaskan Beby.
"..Beby gak apa-apa..." Suaranya terdengar lemah, tidak seperti tadi. "Beby mau lihat... Shania... Beby mau... jenguk dia Kak!"
"Tapi kamu,-"
"Beby mohon!"
Ve tidak bisa menolak, keinginan Beby.
"Ya udah, kalau kamu mau lihat Shania! Tapi setelah itu, kamu langsung kembali ke rumah sakit ya, biar Dokter bisa memeriksa kamu!"
Dengan seutas senyum lemah, Beby menganggukan kepalanya, menyetujui syarat yang diajukan Ve.
Masuk kedalam ruangan itu dan melihat Shania yang terbaring lemah diatas bangsalnya, membuat Beby tidak bisa mengendalikan air matanya sendiri. Apa yang tadi Ve ucapkan, semuanya berputar dalam otaknya yang sedang sakit. Beby sudah berada disamping Shania. Dia merasa tidak bisa membuka mulutnya sendiri, hanya memandang wajah yang di pipi sebelah kirinya masih ada bekas lebam berwarna ungu kehijauan. Mengangkat tangan Shania dan memegangnya, hatinya menangis hingga air matanya kembali untuk kesekian kalinya meleleh membasahi lagi wajah pucatnya.
"...Shhaniaa..."
Mengeluarkan satu kata saja begitu terasa berat untuk Beby.
"Maafin aku... kamu... denger aku? Maaf.. karena aku gak berguna, aku cuma jadi beban buat kamu! Aku bukan sahabat yang baik buat kamu!! Maafin aku.. Shania..." Dengan keterbataan dalam tangisnya, Beby mengutarakan ucapannya.
Denyutannya semakin menjadi, hingga pada akhirnya Beby bisa merasakan. Dan tanpa Beby sadari, dia melepaskan genggamannya dari Shania lalu... dia tidak sadarkan diri. Terkulai tanpa daya dengan darah segar lagi-lagi keluar dari hidungnya. Membuat Melody dan Ve panik.
Duniaku hitam, tidak ada lagi pelangi yang bisa aku lihat. Aku membuka mataku, tapi.. tidak ada warna yang bisa kulihat. Hanya warna hitam, sebuah kegelapan yang tidak berujung, tak ada tepi tak ada awal, semua hitam, pekat... tanpa ada cahaya secelah pun.
Shania masih terbaring tanpa ada daya, tubuhnya yang berangsur pulih dari setiap benturan yang diakibatkan kecelakaan, tidak dia ikuti dengan pemulihan hatinya. Hati yang sedang merasakan kesedihan teramat sangat, atas apa yang sedang Tuhan titipkan dalam kehidupannya kini. Sebuah kegelapan yang merenggut tatanan warna yang biasa dia lihat, dikala dia membuka matanya.
Sudah 4hari, semenjak kesadarannya mulai bisa dia raih kembali, dan... berita kegelapan yang memasuki dunianya kini. Membuat Shania seolah enggan untuk bisa merasakan atmosfir bumi. Bahkan, untuknya bernafaspun, rasanya ingin dia tinggalkan. Keberadan Ve di sampingnya, tidak lantas membuat dia merasakan aman, nyaman, tenang, karena Shania tetap saja diam dalam kegelisahan dan ketakutannya. Apalagi keberadaan Papa sama Mama, sama sekali tidak membawa efek apapun! Dia hanya diam, untuknya... entah itu siang ataupun malam. Membuka mata ataupun memejamkannya. Sekarang tidak akan ada bedanya. Semua... sama, sama gelapnya!
Dan, Ve yang selalu diacuhkan dalam 4hari ini, tidak pernah menyerah untuk menyentuh Shania agar mau kembali berbicara, menumpahkan segala ketakutannya, berbagi rasa sakitnya. Selain itu, Ve bersama Mama, Papa, juga tidak pernah berhenti berusaha mencarikan donor mata, agar Shania bisa kembali melihat. Karena waktu terus berjalan, dan Shania... bisa saja kehilangan warna dalam hidupnya untuk selama-lamanya.
"Selamat pagi, Adeknya Kak Ve! mmm.. tadi Suster udah bawain makan loh. Kamu makan dulu ya?" Kata Ve berbasa-basi yang biasanya selalu berujung basi, karena Shania tidak pernah mau menanggapi.
Shania hanya diam, selalu diam. Terlihat, matanya seperti melihat Ve, tapi sebenarnya tidak. Karena memang selalu terlihat seperti itu. Melihat namun entah arah mana yang dia lihat, karena dalam kegelapannya kini, tidak ada arah pasti yang bisa dia lihat.
"Ayo, buka mulut kamu... Kakak suapin, supnya terlihat enak loh Dek? Makan ya?" Tawarnya, melihat wajah Shania dengan kesedihannya.
Shania tidak juga menggubris.
"Kalau kamu.. gak mau makan, Kakak akan temenin kamu. Kakak juga gak akan makan!"
Hati kecil Shania terusik dengan ancaman halus Ve.
Ve menghela nafasnya, "Bahkan kalau bisa, Kakak nemenin kamu dalam kegelapan itu. Kakak akan lakukan! Atau... Kakak switch posisi Kakak sama kamu. Kakak akan lakukan itu!!"
Ve yang sudah merasa lelah dengan kediaman Shania, sudah tidak tahan lagi dengan apa yang adiknya itu lakukan. Karena dia merasa jadi Kakak yang tidak ada gunanya, tidak bisa melakukan apapun untuk Shania.
"Kakak masih bisa melihat, tapi.. apa yang Kakak lihat saat ini, membuat Kak Ve berpikir... tidakkah, dalam kegelapan kehidupan Kakak akan jauh lebih baik!?" Ve menitikan air matanya. "Tidaklah perlu.. Kakak ada dalam posisi mengetahui siapa yang sudah melukai kamu! Tidaklah perlu.. Kakak melihat kemuraman diwajah kamu! Tidaklah perlu... Kakak melihat penderitaan kamu... tapi Kakak tidak bisa melakukan apapun! Kakak bisa melihat.. Tapi Kakak tidak bisa melakukan apapun!!" Ve menundukan wajahnya.
Usikan itu, perlahan mulai menyentuh hati Shania.
"Apa yang harus Kakak lakuin, Dek? Beritahu Kakak? Perlihatkan sama Kakak, bagaimana cara... agar Kakak bisa..., bisa melihat lagi senyum kamu!?.. Bicaralahhh... Kakak mohon! Kakak gak bisa lagi lihat kamu seperti ini, terus-menerus!!" Lirih Ve, menggenggamkan tangannya ke tangan Shania.
Tanpa Shania sadari sudut matanya meneteskan bulir air, ketika mendengarkan rasa sakit Ve tentang dirinya.
"...Kalau saja, retina mata yang Kakak miliki memenuhi persyaratan seperti Dokter bilang. Kakak tidak akan berpikir apapun, Kakak akan langsung memberikan retina mata Kakak sama kamu!"
Sentuhan dari setiap ucapan itu semakin membuat pudar dinding gelap dihati Shania.
"Kamu merasa.. sendirian diujung kegelapan, dan Kakak... sama, sendirian. Kakak ada dalam ribuan lorong warna, tapi? seperti tidak melihat satupun warna ceria disetiap lorong itu. Seakan semua hanya warna berkabung, warna yang berwarna, namun fana!"
". . . . . . . . . ."
"...Kakak memang, gak pernah bisa ngelakuin apapun buat kamu! Bahkan untuk sekedar menjaga kamu, agar kamu tidak terluka.. Kakak tidak pernah bisa melakukannya. Harus selalu kamu, yang bisa jagain Kakak. Tapi giliran kamu yang butuh penjagaan, Kakak malah tidak bisa melakukan apapun! Maafin Kak Ve, Dek...!!!"
Shania merasakan tetesan air membasahi tangannya, dan itu adalah air mata Ve.
Ve mencoba terus menembus kegelapan dalam hati Shania lewat permainan kata-katanya. Mungkin ini puncak dari perasaan seseorang yang merasa tidak bisa melakukan apapun untuk bisa menggapai kembali orang yang dia sayangi, hingga Ve terlihat dan terdengar begitu aktif mengungkapkan apa yang beberapa hari ini dia rasa, dalam ketidak berdayaannya melihat Shania.
Karena tetap tidak ada respon berarti dari Shania yang diam membisu. Ve memutuskan untuk melepaskan genggamannya dari Shania, dia menyeka air matanya, menghirup udara begitu dalam, agar banyak udara yang masuk memenuhi rongga parunya yang sedang terasa sesak. Perlahan, Ve mendorong kursi yang dia duduki, memutuskan untuk meninggalkan Shania sendirian, dan dia akan keluar sebentar, menenangkan pikirannya.
Shania bisa merasakan genggaman itu mengendur lalu terlepas, ditambah adanya suara decitan kaki kursi. Shania menebak kalau Ve akan meninggalkannya. Shania malah jadi merasa ketakutan akan ditinggalkan. Dia tidak mau kalau Kakaknya itu pergi dari sampingnya, meninggalkan dirinya sendirian.
Dengan gerakan dari bibirnya yang tipis, Shania segera mengunci pergerakan Ve. Setelah 4hari lamanya suara itu tidak pernah terdengar.
"Jangan tinggalin Shania sendirian!"
Ve seketika melihat Shania.
"Shania takut... Shania takut dalam kegelapan ini, Kak!" Shania mencoba mencari tangan Ve untuk dia raih.
Ve yang mendengar kerapuhan Shania segera kembali duduk di sebelahnya, dan menggenggamkan lagi tangannya.
"Enggak! Kakak gak akan pernah ninggalin kamu. Seperti janji Kakak yang tidak akan pernah melepaskan pelukan Kakak sama Kamu!!"
Ve terharu mendengar suara yang belum dia dengar lagi setelah kecelakaan yang tiba-tiba itu membuat Shania lemah. Membuat dia membisu dalam kegelapan. Tanpa mau membagi keresahan dan kegelisahan yang memburunya dalam ketakutan.
"Shania takut Kak!..."
Shania menangis tersedu dalam ketakutan di kegelapan yang selama ini dia pendam sendiri.
"Apa Shania bisa melihat lagi? Shania takut kalau harus berjalan dalam kegelapan yang Shania lihat!.." Shania terisak, begitu pedih.
"Kamu pasti bisa kembali melihat. Kakak tidak akan pernah biarin kamu berjalan sendirian dalam kegelapan.!"
Ve memeluk Shania, mendekapnya erat, hingga Shania bisa mengeluarkan ketakutannya lewat tangis yang menjadi.
"Maafin Shania, Kak! Shania terlalu takut. Shania gak pernah menganggap, kalau Kak Ve gak pernah bisa jagain Shania. Shania.. sayang sama Kakak!" Lantunnya dalam pelukan hangat Ve.
"...Kakak juga sayang sama kamu! Kakak janji... akan melakukan apapun agar kamu bisa melihat lagi!!" Janji Ve, yang dia sendiripun ragu akan bisa menepati. Karena waktu yang terus berputar tanpa bisa ditawar, bahkan untuk di pause barang sedetik saja.
Sepersekian menit, pelukan pelepas rasa sakit itu Shania bagi dengan Kakak sulungnya. Hingga dia yang merasa tubuhnya masih lemah, tertidur dalam pelukan Ve. Dalam beberapa malam ini, Shania tidak benar-benar menenggelamkan ruhnya ke alam mimpi, dia memejamkan mata hanya untuk sekedar penenang hati, dari gelap warna yang terlihat dikala matanya terbuka.
Ada dalam posisi sakit itu.. memang sangat tidak mengenakan! Tapi, ada dalam posisi tidak sakitpun akan sama tidak mengenakannya dengan berada diposisi sakit. Tahu kenapa? Kalau kita begitu dekat dengan orang yang kita kasihi, kita sayangi. Terus mereka sakit, membutuhkan pertolongan, namun kita tidak sama sekali bisa menolong. Maka rasanya akan sama sakitnya dengan orang yang sedang menderita dalam sakit itu.
Tidak ada yang tahu, kapan sakit akan mampir dalam kehidupan yang sedang dijalani. Syukuri kesehatan yang sudah Tuhan berikan, sebelum sakit.. datang menindih sehat, hingga membuat tubuh merapuh dalam lemah. Sekalipun tidak bisa memberikan pertolongan, setidaknya kita selalu ada di dekat mereka, menunjukan kalau kita... siap untuk mereka kapanpun mereka butuhkan, dan kita tidak akan pernah meninggalkan mereka sendiri dalam sakitnya.
"Kamu mau kemana, sayang?"
Mama terlihat heran dalam ucapannya, kala melihat Beby yang sedang bersiap, dia sudah turun dari ranjangnya, dan sudah memakai pakaian biasa.
"Mama! emm.. Beby mau jenguk Shania Mah!" Jawab Beby.
"Bebyy? Kondisi kamu itu lemah! Kamu gak mungkin bisa nemuin Shania, sayang.."
Cemas Mama, mendekat pada putri tunggalnya.
"Mah! Tanpa Beby bergerak dari ranjang ini, dan pergi menemui Shania pun. Kondisi Beby akan tetap lemah, bahkan terus.. dan semakin melemah! Mama pasti tahu itu, kan?" Beby melakukan pembelaan.
"Iya, karena Mama tahu pasti. Itu kenapa Mama tidak memberikan kamu izin untuk keluar dari ruangan ini!" balas Mama, membuat Beby mengerung,
"Mama tidak mau.. kamu kembali pingsan dan untuk... entah untuk keberapa kalinya, kamu bikin Mama dalam ketakutan yang hebat!"
Beby bisa mengerti dengan rasa cemas Mama.
"Maafin Beby Mah, kalau Beby... selalu membuat Mama ada dalam ketakutan! Tapi Mama tahu kan? Bagaimana kondisi Shania sekarang? Beby janji! Beby gak akan lagi bikin Mama ketakutan, karena Beby pingsan lagi!... Beby mau ngasih semangat Beby untuk Shania, yang selalu bisa ngasih Beby semangat Mah. Beby mau ada disamping dia, dan membuat dia merasakan, kalau Beby tidak pernah ninggalin dia!" Kata Beby sambil memegang kedua tangan Mama, hingga Mama terharu,
"Apa.. Mama mau ngasih izin untuk Beby menjenguk Shania?"
Mama menatapkan matanya yang dipenuhi kesedihan, tidak tahu bagaimana cara menghalangi Beby untuk tidak keluar dari rumah sakit dan menanggalkan pengobatan juga alat-alat medis yang sebelumnya terpasang di tubuhnya. Hingga akhirnya, memberikannya ijin untuk pergi.
"Kak?"
"Iya?"
"Beby... dia gimana kabarnya, ya? Apa... Beby sudah menjalani Operasi?" Tanya Shania disela suapan terakhir makan siangnya.
Ini adalah obrolan pertama setelah sebelumnya Shania hanya bisa membisu dalam kegaduhan di gelap matanya.
"Beby... Dia... dia belum melakukan Operasi itu, Dek!" Jawab Ve.
"Hah? Kenapa? Apa dia tidak mau menerima bantuan dari Shania, Kak?"
"Bukan! Dia tidak mau masuk keruang Operasi bukan karena tidak mau menerima bantuan dari kamu. Tapi,.." Suara Ve terhenti, karena dia melihat Beby masuk keruang rawat Shania, tanpa kursi roda, tanpa ada yang menemani. Seperti terakhir saat Beby ditemani Melody, diatas kursi roda.
Beby memberikan senyuman khasnya pada Ve, lalu melihat Shania.
"Kak..? Tapi kenapa?" Penasaran Shania.
"Ah.. itu... Karena Beby... dia, gak mau di Operasi tanpa ada kamu menungguinya diluar ruang Operasi! Itu yang Beby bilang!"
Shania mengerung sedih; Ve belum menyebutkan adanya Beby diruangan Shania sekarang; Beby duduk disamping Shania.
"..Bodoh!"
Satu kata yang Shania ucapkan membuat Beby yang ingin menyapanya jadi menahan suara, dia diam karena mau mendengarkan lebih, komentar Shania tentang dirinya.
"Kenapa kamu bicara seperti itu, Dek?" Tanya Ve mewakili keinginan Beby yang juga ingin mengajukan pertanyaan yang sama.
"Aku udah susah payah Kak, jual mobil aku untuk bisa dapetin uang itu. Tapi Beby... dengan alasan konyolnya, malah menolak untuk masuk ruang Operasi! Itu sama aja... dia tidak menghargai usaha keras aku!!" Jelasnya, membuat Beby menyimpulkan segaris senyum bahagia.
"Bukan maksud Beby untuk menolak dan tidak menghargai apa yang sudah kamu usahakan untuknya. tapi justru.. dia sangat amat menghargai usaha kamu, hingga dia, tidak mau melakukan Operasi karena kamu tidak ada didekat dia.!"
"Dan itu juga kenapa Shania bilang dia bodoh, Kak! Kenapa dia harus menghiraukan keberadaan Shania untuk jalannya bisa sembuh? Bukankah, kalaupun sekarang Shania bisa menghampiri Beby dan menyuruhnya untuk melakukan Operasi, itu akan sia-sia juga, dan kembali akan dapat penolakan dari Beby!?"
"Maksud kamu? Kenapa berpikir kayak gitu?"
"Kakak pikir... Dengan kondisi Shania sekarang? Beby akan mau, masuk ruang Operasi menerima pengobatan agar dia bisa sembuh? Enggak Kak!. Dia tidak akan mau menerima itu, karena dia mencemaskan kondisi Shania!!"
Beby mengharu mendengar tebakan Shania tentang dirinya, yang memang benar adanya. Ve melihat pada Beby, tersirat diwajah Beby kalau apa yang ditebakan adiknya itu memang benar.
Mereka berdua sudah tahu satu sama lain, tentang watak dan bagaimana mereka.. dari yang bagus sampai yang jelek, tentang sifat dan sikap masing-masing.
"Shania mau... apapun, dan bagaimanapun caranya. Beby harus bisa di Operasi, Kak. sama... Beby belum tahu kan Kak, soal kondisi Shania?"
Sebelum menjawab, Ve melihat Beby terlebih dahulu. Beby menggelengkan kepalanya, agar Ve memberikan jawaban belum, dan mereka bisa tahu apa yang diinginkan Shania.
"..Belum! Kak Melody bilang.. Kamu sama Kakak lagi di Jogja. Jenguk Kakek yang lagi sakit!" Jawab Ve, yang mengerti akan isyarat Beby.
"..Baguslah Kak! Shania akan lebih gampang minta sama Beby untuk segera di Operasi. Dan Beby juga gak perlu lihat Shania dalam kondisi seperti sekarang!! Karena ini... pasti hanya akan jadi beban pikirannya, dan.. Shania cuma akan jadi beban buatnya, penghalang untuk jalannya menuju kesembuhan. Iya kan, Kak?!"
Dari senyum berakhir sendu, ekspresi Shania saat mengucapkan kalimatnya.
Beby mengerung sedih, inginnya dia bicara dan menepis apa yang Shania ucapkan tentang dirinya sendiri yang jadi beban dan penghalang. Tapi Beby tidak bisa sama sekali membuka mulutnya. Perasaannya begitu campur aduk. Bahagia, namun sedih juga.
"Shania mau... Biarkan ini tetap tersembunyi, Kak. Membiarkan Beby dengan apa yang di pikirkannya tentang Shania. Hingga nanti Shania dapat donor mata, atau paling tidak hingga Beby selesai di Operasi dan dinyatakan sembuh oleh Dokter!"
Ve kembali memakukan penglihatannya pada Shania. Dengan sekilas mencuri pandang pada wajah Beby yang mengeluarkan ekspresi sedih, saat mendengar keinginan Shania.
"Kak? Kakak mau kan, janji sama Shania, untuk ikut dengan apa yang Shania ucapkan? Merahasiakan semuanya!"
"Ttt-tapi, Dek..? Itu tidak mungkin! Beby.. sama keras kepalanya sama kamu, dia pasti tidak akan mau melakukan Operasi itu, tanpa adanya kamu didekat dia!"
"Shania akan telpon Beby, agar dia mau di Operasi. Atau, kalau tidak... Shania akan ancam aja Beby, kalau Shania gak mau lagi ketemu sama dia, selama dia belum mau masuk ruang Operasi!"
Beby sungguh tidak habis pikir dengan apa yang diutarakan Shania. Sampai segitunya Shania mencemaskan dirinya, padahal dia sendiri sedang dalam kejaran waktu. Sebuah waktu yang bisa merenggut semua warna dalam hidupnya, untuk selama-lamanya. Namun, belum dia ketahui.
Beby, yang tidak bisa menahan tangisnya, segera berdiri dari tempatnya duduk dan berlari kecil keluar ruangan agar Shania tidak mengetahui keberadaanya.
"Itu siapa Kak?!" Shania bisa mendengar decitan kecil dari kursi dan suara pintu yang sesaat setelah dibuka menutup sendiri.
"Itu...," Ve terlihat bingung, "...gak ada siapa-siapa kok! Barusan Kakak geserin dikit tempat duduk Kakak!" Kilah Ve menutupi. "Oh, iya? Kakak baru ingat, Dek! Kakak harus nebus dulu obat di apotik. Kamu gak apa-apa kan sendirian sebentar?" Ve mencari alasan, untuk mengejar Beby.
"hmm.. Shania gak akan kenapa-kenapa Kak!" Shania sedikit heran, tapi kemudian dia menjawab diikuti anggukan kecilnya.
Ve segera keluar untuk menyusul Beby...
Beby terduduk sendiri didepan kamar rawat yang jarak ke kamar Shania terpaut 2 ruangan. Perlahan Ve menghampiri Beby yang sedang menundukan kepalanya, ia duduk disebelah Beby.
"Maafin Shania, ya Beby?"
Beby mengangkat kepalanya.
"Jangan terlalu kamu dengarkan apa yang tadi dia ucapkan!"
(tidak memberitahukan Beby, dan berpura-pura dia sedang di Jogja!)
Beby sedikit memberikan senyumnya, sebelum menjawab ucapan Ve.
"Gak ada yang perlu dimaafin, Kak. Shania gak salah kok! Beby gak marah sama dia!" Beby mengingat lagi setiap ucapan Shania. "Beby... Beby malah merasa bahagia denger apa yang Shania ucapin. Dia sampai segitu menghawatirkan Beby, padahal dia sendiri sedang dalam kesulitan!"
Ve menyunggingkan senyum, mendengar kata-kata Beby.
"Egois kalau Beby masih bersikeras menginginkan Shania ada didekat Beby, saat akan melakukan Operasi! Sementara, Shania yang sudah susah payah mencarikan dana untuk kesembuhan Beby, begitu mengharapkan kesembuhan Beby!!"
Ve menganggap ucapan Beby adalah persetujuan pada apa yang diinginkan Shania (Operasi).
"Tapi,.. akan jauh lebih egois dan tidak adil untuk Shania termasuk Beby juga. Kalau Beby harus masuk ruang Operasi, dengan Shania yang masih dalam penantian pendonor matanya! Iya nggak, Kak?"
Ve yang mendengar uraian lanjutan dari Beby hanya bisa mengangkat wajah memperlihatkan ekspresi kagetnya.
"Kalaupun Shania mau Beby di Operasi, maka Beby akan menunggu dia mendapat donor mata terlebih dahulu. Agar kita sama-sama masuk ruang Operasi dan mendapatkan kembali kesehatan kita. Itu jauh lebih adil kan, Kak?" .. "Dan soal yang diinginkan Shania, untuk Beby tidak tahu akan kondisinya. Beby akan ikuti kemauannya. Kak Ve sama yang lainnya, bantuin Beby ya?"
Ve benar-benar kehabisan pemikiran jika menghadapi mereka berdua. Saat diruangan, dia mendengar Shania begitu sangat mencemaskan Beby dan menyuruhnya untuk bungkam, dalam sandiwara. Dan kini diluar ruangan, Beby melakukan hal yang sama. Meminta bantuannya untuk bersandiwara juga.
"Haaaahh... Kenapa kamu jadi benar-benar keras kepala, kayak Shania?" Keluh Ve dalam tanggapannya.
Beby tersenyum, "Karena Adik, Kakak yang mengajarkan itu sama Aku" Balasnya dengan diikuti seringai tipis. "lagian,..." Beby kembali memasang tampang serius. "Kemungkinan berhasilnya Operasi buat Beby, sudah sangat kecil Kak. Beby gak mau terlalu menaruh harap pada hal itu, sampai bikin Beby menutup mata dan telinga akan kebaikan orang-orang di sekitar Beby!"
"Kenapa kamu bicara seperti itu? Seperti bukan Beby yang Kak Ve kenal? Kamu gak perlu hopeless gitu. Bayangan kita mungkin terlihat mengerikan, tapi gambaran Tuhan... tidak pernah kita tahu, akan seperti apa? Jangan berburuk sangka, apalagi sama Tuhan. Lakukanlah dulu, soal hasilnya.. kita serahkan sama Tuhan" Ujarnya melihat Beby yang seperti menurunkan rasa percayanya.
"Beby bukan mau berburuk sangka atas apa yang akan Tuhan berikan, tapi justru Beby melihat kenyataan didepan mata. Beby percaya, keajaiban itu selalu ada. Tapi, menurut Beby, tidak akan tercipta keajaiban, tanpa adanya perantara. Tuhan sudah menyeting semuanya Kak. Shania itu ditunjuk Tuhan, untuk jadi keajaiban buat Beby, karena dia.. udah ngasih Beby jalan menuju kesembuhan. Dan seperti yang Kakak bilang, 'Bayangan kita bisa terlihat mengerikan, tapi belum tentu dengan gambaran asli dari Tuhan nanti!' begitupun sebaliknya. Bayangan kita bisa indah, tapi belum tentu dengan gambaran aslinya nanti. Apapun tebakan kita, apapun keputusan Tuhan, itu adalah yang terbaik. Beby percaya itu!! ."
Ve mendengarkan dengan seksama,
"...Jika Tuhan.. bisa menunjuk Shania untuk jadi keajaiban buat Beby. Kenapa tidak, Tuhan menunjuk Beby.. untuk jadi keajaiban buat Shania!? :'-)"
Ve yang begitu serius mendengar setiap ucapan Beby, seketika melihatkan kedua matanya pada Beby saat mendengar ucapan terakhir Beby.
"Apa maksud ucapan kamu, Dek? Jangan bilang..." Pikiran Ve membuat pola tebakan, kalau Beby akan mendonorkan matanya. "Kamu akan jadi... pendo,-"
"Shania sahabat terbaik Beby..." Ve terdiam karena Beby memotong ucapannya. "Dia yang mengajarkan Beby banyak hal. Dari senangnya kehidupan, sampai pahitnya kehidupan. Jika Beby bisa menjadi keajaiban buat Shania, Beby tidak akan menolak hal itu. Beby akan jadi harapan dalam kegelapan yang sedang Shania hadapi! Beby akan tetap hidup, dengan orang terbaik, yang selalu mengajarkan banyak hal baik dalam hidup Beby!" Paparnya, dengan wajahnya dia terawangkan.
Ve tercekat sesaat, mendengar uraian itu. Hingga keduanya jadi saling diam, beberapa saat.
"...Jangan lakukan itu, Beby!" Beby menatap Ve.
"Beby gak akan ngelakuin itu, Kak. Tapi Tuhan, Dialah yang akan melakukannya!"
"Shania gak akan suka dengan apa yang kamu pikirkan! Belum... Mama kamu! Dan bahkan... Kak Ve juga! Jangan pernah kamu ungkapkan pemikiran kamu itu, didepan siapapun lagi. Cukup Kak Ve yang dengar! Dan Kakak, akan anggap, tidak pernah mendengar ucapan itu dari Kamu!!... Kita masih punya harapan buat Shania, dia masih punya waktu!!"
"Berapa lama Kak?" Tanya Beby, yang padahal sudah tahu. "Cuma 1 bulan, Kan? Aku tahu, dan Kakak juga pasti tahu. Kemungkinan dapat pendonor mata dalam waktu sesingkat itu, presentasenya sangat kecil. Sekeceil presentase kesembuhan Beby dengan jalan terakhir yang Dokter sarankan (Operasi)! Beby masih punya waktu dalam kecilnya kemungkinan kesembuhan Beby, tapi Shania... dia tidak punya itu Kak! Shania diburu sama waktu, sementara Beby? Beby itu ditunggu sama waktu. Gak ada salahnya kan? Beby kasih waktu senggang Beby untuk memberikan warna dikehidupan Shania!?"
Beby yang memang sudah membebani pikirannya dengan kebutaan Shania saat pertama tahu (kunjungan waktu diantar Melody), dan penjelasan yang begitu rinci dari Ve. Membuat keputusan sepihak dalam hati, untuk mendonorkan matanya. Belum ada yang tahu akan niatan yang sudah Beby buat itu. Dan saat tadi mendengar apa yang diucapkan Shania, yang begitu mencemaskan dirinya, membuat keputusan sepihak dalam hati itu, akhirnya terlontar juga. Meski baru satu orang yang Beby kabari tentang ide... ide gilanya itu.
"Kalau Kak Ve merasa kita masih punya harapan buat Shania. Kita tunggu sampai harapan itu bisa jadi kenyataan. Namun, jika waktu yang tidak bisa kita hentikan itu datang, dan Dokter masih belum memberikan kejelasan, akan nasib Shania. Maka.., jadikanlah Beby.. harapan terakhir untuk Shania. Beby siap, untuk jadi penerang dalam gelapnya dunia Shania saat ini! Beby siap Kak, kehilangan warna yang Beby miliki, untuk sahabat Beby yang bisa memberikan warna yang lebih indah, dari sekedar warna yang kini Beby lihat!" Usul Beby.
Ve menahan tangis saat mendengar ucapan Beby. Dia begitu terharu tak percaya. Bagaimana mungkin, Beby bisa berpikir sejauh itu untuk Shania. Dia mau mengorbankan sesuatu yang indah dalam kehidupannya untuk Shania, yang bahkan sempat tidak mempercayai dirinya dan memusuhinya akan apa yang tidak pernah dia lakukan.
"Beby akan bicarakan ini dengan Mama... Kakak jangan khawatir, Beby pasti dapetin ijin dari Mama. (Beby menghela nafas), Semoga... rencana indah ini, berjalan lancar dengan hasil yang indah juga! Amin!!" Ucap Beby dengan wajahnya dia tengadahkan, dan hatinya dia lantunkan doa.
"Beby pulang dulu, Kak! Besok atau lusa, Beby kesini lagi. Oh iya, jangan bocorin hal ini sama Shania ya Kak? Karena Beby cuma harapan terakhir, yang bisa saja berubah! Oke?" Beby masih bisa memasang senyum manisnya didepan Ve.
Saat Beby berdiri, Ve ikut berdiri. Menatap lekat wajah pucat Beby yang dipasangi senyum seolah tidak ada percakapan serius yang terucap tadi. Ve langsung melejit memeluk Beby, Beby hanya bisa menyunggingkan senyum lesung pipinya, dalam dekapan Ve.
"Kalian... sangat pintar membuat orang lain cemburu!" Ujar Ve dalam posisi memeluk Beby. "Persahabatan kalian terlalu indah untuk dirangkai dalam kata. Kak Ve... tidak tahu harus bicara apa!" Lanjutnya diikuti tangisan.
"Semua... akan indah pada waktunya, Kak. Kakak percaya itu kan?", Ve menganggukan kepalanya.
"Terima kasih... Malaikat kecil pembawa harapan! Semoga Shania.. tidak sampai di harapan terakhirnya (Beby jadi pendonor)! Kakak gak mau kehilangan kamu, ataupun Shania. Kakak sayang sama kalian berdua :'-)"
"Beby juga! Beby saaaaangat sayang, sama Shania, juga Kak Ve! Malaikat pelindung yang aku sama Shania miliki!! :'-)" Balasnya ikut memuji Ve.
Kehidupan.. memang selalu memberikan banyak pilihan! Namun, ada kalanya pilihan yang diberikan sang pemilik kehidupan. Tidak ada satupun yang bisa membuat kita mengembangkan segaris senyum saat memilih dan menjalani pilihan itu.
Tidak memilih, tidak lantas akan bisa membiarkan hidup tenang dan tetap tersenyum lega. Tapi, memilihpun. Tidak selalu berakhir dengan seutas senyum bahagia. Memilih itu sebuah keharusan, hasil dari pilihan yang diambil.. itu adalah sebuah konsekuensi!
Apapun kejadiannya, pilihan haruslah tetap diambil. Jangan takut pada apa yang akan terjadi setelah mengambil pilihan. Ketakutan diawal, tidaklah lebih baik dari sesal diakhir, semua kenyataan dalam hidup harus terus dihadapi
Sumber : Cemistri Jkt48 | Facebook
Tidak ada komentar:
Posting Komentar